Rabu, 17 Desember 2008

Sudahkah yang Terbaik Ku Berikan???


Yohanes 21: 15-19

Saudara, kalau boleh saya bertanya pada saudara, ”Apakah saudara mengasihi Tuhan?”, apa jawab saudara? Apakah saudara akan menjawab, ”Oh, jelas, saya sangat mengasihi Tuhan! Saya 100% mengasihiNya!” Atau saudara akan menjawab, ”Ah, kasih saya kepadaNya belum sempurna! Masih ada banyak hal yang belum saya lakukan untukNya!” Atau saudara punya jawaban yang lain lagi?

Saudara, misalnya saja, saya bertanya kepada Tuhan, ”Tuhan, apakah Engkau mengasihi anak-anakMu ini?” dan ternyata jawaban Tuhan sama seperti jawaban saudara tadi, apa yang saudara rasakan? Apa saudara akan merasa sedih atau senang? Mungkin saudara akan merasa senang jika Tuhan menjawab bahwa Dia sangat mengasihi saudara. Tapi bagaimana jika Tuhan menjawab bahwa Dia kurang mengasihi saudara atau bahkan tidak mengasihi saudara? Apa yang akan saudara rasakan dan lakukan?

Saudara, Injil Yohanes 21: 15-19 mengingatkan kita bahwa Tuhan sangat mengasihi kita. Kalau mau kita perhatikan, ketiga pertanyaan yang diajukan Yesus kepada Simon Petrus, sebenarnya mempunyai perbedaan. Tapi perbedaan ini tidak terlihat dalam Alkitab terjemahan LAI. Untuk itu, marilah kita melihat dari bahasa aslinya, yaitu Bahasa Yunani. Dalam Bahasa Yunani, sangat jelas terlihat adanya perbedaan dalam ketiga pertanyaan Yesus tersebut. Pada pertanyaan yang pertama, Yesus memakai kata agape sebagai ungkapan kasih yang diminta Yesus kepada Petrus. Demikian pula dengan pertanyaan yang kedua, Yesus tetap memakai kata agape untuk menanyai Petrus. Agape, adalah model kasih yang paling tinggi tingkatannya dan sangat sulit untuk dimiliki manusia, karena agape adalah kasih tanpa syarat, kasih yang sempurna yang dimiliki oleh Allah. Namun, terjadi perubahan kata dalam pertanyaan Yesus yang ketiga. Yesus tidak lagi menggunakan kata agape dalam pertanyaanNya, melainkan filia, yaitu model kasih yang ”lebih rendah” tingkatannya yang terdapat dalam persahabatan. Yesus ”menurunkan” standar kasih dalam pertanyaanNya bukan tanpa alasan. Yesus meminta kasih yang sempurna dari Petrus, yaitu agape. Namun, dalam kenyataannya, Petrus belum mampu untuk memberikan kasih agape tersebut, Petrus hanya mampu memberikan kasih filia kepada Yesus. Itulah kasih yang terbaik yang dimiliki oleh Petrus, kasih terbaik yang dapat ia berikan kepada Yesus. Yesus yang mengetahui hal itu tidak memaksa Petrus untuk memiliki kasih agape pada saat itu juga. Yesus pun ”menurunkan” standar kasih dalam pertanyaanNya. Petrus yang melihat perubahan tersebut menjadi sedih karena ia sadar ia telah melakukan kesalahan besar dengan menyangkal Yesus saat Yesus ditangkap dan dibawa ke rumah Imam Besar. Ia sadar bahwa Yesus begitu mengasihinya, bahkan setelah ia melakukan kesalahan. Yesus mau ”menurunkan” standar kasihNya karena Ia mengetahui kapasitas Petrus yang memang sudah memberikan yang terbaik kepadaNya walaupun tidak sempurna. Petrus pun mau melakukan apa yang Yesus minta, yaitu menggembalakan domba-dombaNya. Petrus mau memberikan yang terbaik untuk Yesus. Petrus sangat mengasihi Yesus dan Yesus juga sangat mengasihi Petrus.

Saudara, mari kita koreksi diri kita masing-masing, apa saja yang sudah terjadi dalam hidup kita selama ini. Apakah Tuhan pernah melupakan kita? Apakah Dia pernah lupa memberi kita udara untuk bernafas? Apakah Dia pernah meninggalkan kita sendirian saat kita menghadapi permasalahan dan pergumulan hidup kita?
Saudara, Dia tidak pernah berhenti mengasihi kita! Dia tidak pernah melupakan dan meninggalkan kita! Namun, apakah kita sudah membalas kasihNya yang begitu besar bagi kita? Apakah kita sudah memberikan yang terbaik yang dapat kita berikan kepadaNya dengan pelayanan kita, dengan studi kita, dengan pekerjaan kita, dengan seluruh kehidupan kita? Atau, kita hanya bisa berkata kalau kita mengasihi Tuhan tanpa mau, tanpa berusaha untuk memberikan yang terbaik bagiNya?

Ada sebuah fabel yang menarik untuk kita cermati:

Alkisah di sebuah hutan, hiduplah seekor singa, sang raja hutan yang sangat ganas. Setiap manusia yang masuk ke dalam hutan itu tidak akan selamat, hanya namanya yang tersisa. Hal ini membuat semua orang takut untuk masuk ke dalam hutan itu. Cerita tentang hutan dan singa yang ganas itu kemudian tersebar ke seluruh pelosok negeri dan ada seorang Pendeta yang saleh dari negeri seberang yang mendengarnya. Sang Pendeta pun bertekad untuk mendatangi singa tersebut untuk menasihati dan mengkhotbahinya. Singa yang telah dikhotbahi Pendeta yang saleh ini pun bertobat dan berjanji tidak akan memakan manusia yang masuk ke dalam hutan lagi, asalkan manusia itu beragama Kristen. Meskipun singa ini cukup pilih kasih dengan hanya tidak memakan orang Kristen, namun Pendeta tersebut tetap bersyukur karena ia telah membuat sang singa bertobat. Setelah singa ini bertobat, orang-orang Kristen mulai berani masuk ke dalam hutan lagi. Tapi, saat seorang Kristen masuk ke dalam hutan, ternyata orang itu dimakan oleh sang singa dan hanya satu bagian tubuhnya yang tidak dimakan. Saudara tahu bagian tubuh mana yang tidak dimakan? Yang tidak dimakan adalah bibirnya. Mengapa? Karena ternyata yang Kristen dari orang Kristen tersebut hanyalah bibirnya. Orang Kristen tersebut berkata kalau ia mengasihi Tuhan, tapi hidupnya tidak mencerminkan kasihNya pada Tuhan.

Saudara, apakah saudara mengasihi Tuhan? Kalau iya, apakah saudara sudah memberikan yang terbaik bagiNya? Atau saudara hanya bisa berkata dengan bibir saudara bahwa saudara sangat mengasihi Tuhan tanpa mau, tanpa berusaha untuk memberikan yang terbaik bagiNya? Akankah saudara menjadi seorang yang NATO: No Action, Talk Only?

Saudara, Tuhan tidak memaksa Petrus untuk mengasihiNya secara agape karena Petrus belum mampu melakukannya. Demikian juga Tuhan tidak memaksa kita untuk memberikan yang sempurna bagiNya. Tuhan hanya meminta yang terbaik dari kita, yang terbaik yang bisa kita berikan kepadaNya. Persembahan terbaik itulah yang akan Ia sempurnakan.

Sudahkah saudara memberikan yang terbaik bagi Tuhan? Jika belum, maukah saudara memberikan yang terbaik bagiNya?

Ini Aku, Utuslah Aku, Tuhan…


Keluaran 3:10-14, 4:1,10-17

Setiap orang tentu memiliki kekurangan dan kelebihan. Mungkin jika kita melihat orang lain yang lebih baik daripada kita, kita akan merasa minder. Begitu banyak pujian yang kita berikan pada orang lain atas kelebihan yang mereka miliki. Namun, seberapa seringkah kita mensyukuri apa yang telah Tuhan berikan dalam diri kita? Jangan-jangan kita sering minder dengan apa yang kita miliki.

Kisah Musa yang telah kita baca tadi merupakan bagian dari Kel. 3:1-4:17. Perikop ini mengisahkan bagaimana Tuhan hendak mengutus Musa untuk memimpin bangsa Israel keluar dari tanah Mesir. Namun, yang terjadi dalam kisah ini justru Musa menolak panggilan Tuhan karena ia merasa tidak layak. Musa merasa bahwa ia tidak mampu menjadi seorang pemimpin. Ia lupa bahwa segala sesuatunya telah disiapkan oleh Tuhan. Hal ini terlihat jelas dalam jawaban Tuhan dalam Kel. 4:11 yang berbunyi, “Siapakah yang membuat lidah manusia, siapakah yang membuat orang bisu atau tuli, membuat orang melihat atau buta; bukankah Aku, yakni Tuhan?” Disini Tuhan sesungguhnya ingin mengatakan kepada Musa bahwa ia tidak usah kawatir akan kelemahan yang ia miliki, sebab Tuhan sendirilah yang akan melengkapi.

Suatu kali, seorang ibu yang ingin agar anaknya kelak menjadi pianis yang handal, mengajak anaknya untuk menyaksikan Konser Piano Paderewski, seorang pianis yang termahsyur. Setelah mereka mengambil tempat duduk di bagian depan, ibu itu melihat seorang teman baiknya di antara penonton. Ibu ini pun akhirnya pergi untuk menyalami teman dekatnya itu. Melihat adanya kesempatan untuk jalan-jalan dan melihat-lihat bagian dalam panggung, anak ini kemudian melakukan eksplorasi hingga pada akhirnya anak ini sampai kepada pintu yang bertuliskan “Dilarang Masuk”.

Ketika lampu penerangan ruangan konser mulai redup, si ibu kembali ke tempat duduknya dan segera menyadari bahwa anaknya tidak ada. Tiba-tiba layar panggung di buka, lalu lampu-lampu sorot dipusatkan kepada sebuah piano Steinway yang besar. Alangkah terkejutnya sang ibu ketika melihat bahwa ternyata anaknya duduk di depan piano besar itu dan memainkan lagu Twinkle-Twinkle Little Star. Pada saat itu, sang maestro piano yang termasyur itu muncul di atas panggung dan dengan segera ia membisiki anak itu untuk jangan berhenti bermain. Tak lama kemudian Paderewski ini mulai membungkukkan badannya dan turut bermain bersama dengan anak kecil itu. Paderewski melengkapi permainan piano anak kecil itu, sehingga suasana yang menegangkan berubah menjadi sebuah pertunjukkan yang sungguh indah, yang membuat seluruh hadirin terpikat dan terpesona.

Sebagaimana Paderewski pada anak kecil itu, demikian pula Allah pada kita. Apa saja yang telah kita bangun dan kerjakan atas dasar usaha dan kekuatan kita sendiri, sebenarnya hampir tidak ada artinya. Namun, kita dapat mendengar suara Mahaguru yang terbesar itu berbisik, “Janganlah berhenti. Mainlah terus!” Sadarilah bahwa kita yang lemah pun dapat dipakai oleh Tuhan untuk menjadi alat kemuliaannya.

Ingatlah bahwa Tuhan tidak mengutus mereka yang sudah dilengkapi dengan segala sesuatu, namun dia akan melengkapi mereka yang diutus dengan segala sesuatu! Tuhan memberkati kita! Amin.

10 SECRET HOW TO BE A BETTER PERSON



THE FIRST SECRET : THE POWER OF THOUGHT
Love begins with our thoughts. We become what we think about. Loving thoughts create loving experiences and loving relationship. Affirmations can change our beliefs and thoughts about others and ourselves. If we want to love someone, we need to consider his or her needs and desires. Thingking about your ideal partner will help you recognize her when you meet her.

THE SECOND SECRET : THE POWER OF RESPECT
You cannot love anyone or anything unless you first respect them. The first person you need to respect is yourself. To begin to gain self-respect, ask yourself, What do i respect about myself? - To gain respect for others, even those you may dislike, ask yourself, What do I respect about them?

THE THIRD SECRET : THE POWER OF GIVING
If you want to receive love, all you have to do is give it! The more love you give, the more you will receive. To love is to give of yourself, freely and unconditionally. Practice random acts of kindness. Before committing to a relationship ask not what the other person will be able to give to you, but rather what will you be able too give them. The secret formula of a happy, lifelong, loving relationship is to always focus on what you can give instead of what you can take.

THE FOURTH SECRET : THE POWER OF FRIENDSHIP
To find a true love, you must first find a true friend. Love does not consist of gazing into each other's eyes, but rather looking outward together in the same direction. To love someone completely you must love him or her for who they are and not for what they look like. Friendship is the soil through which love seeds grow. If you want to bring love into a relationship, you must first bring friendship.

THE FIFTH SECRET : THE POWER OF TOUCH
Touch is one of the most powerful expressions of love, breaking down barriers and bonding relationships. Touch changes our physical and emotional states and makes us more receptive to love.

THE SIXTH SECRET : THE POWER OF LETTING GO
If you love something, let it free, if it comes back to you, it's yours, if it doesn't, it never was. Even in a loving relationship, people need their own space. If we want to learn to love, we must first learn to forgive and let go of past hurts and grievances. Love means letting go of our fears, prejudices, egos and conditions. Today I let go of all my fears, the past has no power over me - today is the beginning of a new life.

THE SEVENTH SECRET : THE POWER OF COMMUNICATION
When we learn to communicate openly and honestly, life changes. To love someone is to communicate with them. Let the pople you love know that you love them and appreciate them. Never be afraid to say those three magic words : I love You Never let and opportunity pass to praise someone. Always leave someone you love with a loving word - it could be the last time you see him or her. If you were about to die but could make telephone calls to the people you loved, who would you call, what would you say and - why are you waiting ?

THE EIGHTH SECRETH : THE POWER OF COMMITMENT
If you want to have love in abundance, you must be commited to it, and that commitment will be reflected in your thoughts and actions. Commitment is the TRUE test of love. If you want to have loving relationship, you must be commited to loving relationship. When you are commited distinguishes a fragile relationship from a strong one.

THE NINTH SECRET : THE POWER OF PASSION
Passion ignites love and keeps it alive. Lasting passion does not come through physical attraction alone; it comes from deep commitment, enthusiasm, interest and excitement. Passion can be recreated by recreating past experiences. When you felt passionate spontaneity and surprises produce passion. The essence of love and happiness are the same; all we need to do is to live each day with passion.

THE TENTH SECRET : THE POWER OF TRUST
Trust is essential in all loving relationship. Without it one person becomes suspicious, anxious and fearful and the other person feels trapped and emotionally suffocated. You cannot love someone completely unless you trust him or her completely. Act as if your relationship with the person you love will never end. One of the ways you can tell whether a person is right for you is to ask yourself. Do i trust them completely and unreservedly? - if the answer is no - think carefully before making a commitment.

YOU STILL HAVE HOPE !!!


If you can look at the sunset and smile,
Then you still have hope.

If you can find beauty in the colors of a small flower,
Then you still have hope.

If you can find pleasure in the movement of a butterfly,
Then you still have hope.

If the smile of a child can still warm your heart,
Then you still have hope.

If you can see the good in other people,
Then you still have hope.

If the rain breaking on a roof top can still lull you to sleep,
Then you still have hope.

If the sight of a rainbow still makes you stop and stare in wonder,
Then you still have hope.

If the sort fur of a favored pet still feels pleasant under your fingertips,
Then you still have hope.

If you meet new people with a trace of excitement and optimism,
Then you still have hope.

If you give people the benefit of a doubt,
Then you still have hope.

If you still offer your hand in friendship to others that have touched your life,
Then you still have hope.

If receiving an unexpected card or letter still brings a pleasant surprise,
Then you still have hope.

If the suffering of others still fills you with pain and frustration,
Then you still have hope.

If you refuse to let a friendship die, or accept that it must end,
Then you still have hope.

If you look forward to a time or place of quiet and reflection,
Then you still have hope.

If you still buy the ornaments, put up the Christmas tree, or cook the supper,
Then you still have hope.

If you can look to the past and smile,
Then you still have hope.

If, when faced with the bad, when told everything is futile, you can still look up and end the conversation with the phrase … “yeah … BUT,”
Then you still have hope.

Hope is such a marvelous thing.
It bends, it twists, it sometimes hides, but rarely does it break.
It sustains us when nothing else can.
It gives us reason to continue and courage to move ahead, when we tell ourselves we’d rather give in.
Hope puts a smile on our face when the heart cannot manage.
Hope puts our feet on the path when our eyes cannot see it.
Hope moves us to act when our souls are confused of the direction.
Hope is a wonderful thing, something to be cherished and nurtured,
And something that will refresh us in return.
And it can be found in each of us, and it can bring light into the darkest of places.

NEVER LOSE HOPE !!

...Eros...


Dalam kehidupan manusia, hal yang paling sering dikatakan sebagai sesuatu yang memberikan kesan manis dan pahit sekaliagus adalah “cinta”, yang dalam bahasa yunani kita sebut “eros”. “Eros” atau cinta kepada lawan jenis selalu melingkupi kehidupan manusia selain “Agape” (Cinta Ilahi), “Storge” (Cinta dalam keluarga), dan “Philia” (Cinta dalam persahabatan). Dalam kesempatan ini saya akan membahas tentang “Eros”.

Sebenarnya apakah “eros” itu? Setiap kita pasti memiliki definisi yang berbeda-beda tentang “eros”. Jadi, mari kita lihat definisi “eros” secara umum. “Eros” adalah :
- Sesuatu yang tidak terdefinisikan.
- Suatu kondisi yang ada dalam diri manusia yang sudah matang secara seksual.
- Sesuatu yang muncul dengan sendirinya tanpa manusia sadari, tiba-tiba saja hal itu sudah ada dalam diri manusia.
- Masih banyak lagi definisi tentang “eros” menurut setiap kita yang terlalu banyak untuk dituliskan di halaman ini.

Setiap kita pasti bertanya “Bagaimana sih ‘eros’ itu bisa muncul, bahkan tanpa kita sadari?”. Banyak hal yang menyebabkan “eros” bisa muncul dan menetap dalam hati setiap kita. Beberapa di antaranya adalah :

~ Adanya “modal” di alam bawah sadar, misalnya “jatuh cinta pada pandangan pertama”, “tertarik pada…”, “merasa cocok”, “mirip dengan…”, dll. Biasanya mereka ini tidak tahu apa alasan mereka mencintai lawan jenisnya. Misalnya, seorang cewek yang sangat mengidolakan Wallace Huo, tidak menutup kemungkinan cewek itu akan kagum atau bahkan jatuh cinta pada seorang cowok yang wajahnya mirip dengan Wallace Huo.

~ Dengan adanya pertemuan rutin, “eros” bisa muncul. Biasanya terjadi dalam sebuah organisasi yang hubungan antar anggotanya sangat erat, sekolah, gereja, tempat kerja, dll.

~ Manusia yang belajar mencintai, baik dengan terpaksa atau pun tidak. Biasanya dengan cara memikirkan dan menerima hal-hal yang indah dari yang mau dicintainya. Hal ini sering terjadi pada kaum cewek yang berpandangan kalau “dicintai itu lebih enak daripada mencintai, karena jika aku yang dicintai, aku pasti bisa memiliki cowok itu, tapi jika aku yang mencintai, aku belum tentu bisa memiliki cowok itu”, padahal kalau kita ingin dicintai, kita harus mencintai juga ("Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” Matius 7:12). Hal ini juga biasa terjadi pada pasangan yang dijodohkan, dari belajar mencintai, “eros” akan muncul.

Manusia yang sedang diliputi “eros” bisa terlihat dari tindak-tanduknya, terutama dari sorot matanya yang tampak penuh perasaan. Dia akan selalu ingin berada di dekat orang yang dicintainya, selalu memikirkannya, suka termenung, cemburu jika melihat orang yang dicintainya dekat atau mesra dengan orang lain, cari perhatian, sering salah tingkah, penuh perhatian, rela berkorban, suka bercerita tentang dirinya termasuk pengalaman-pengalaman pribadinya, dan masih banyak lagi.

Sekarang, bagaimana manusia menyikapi adanya “eros” dalam dirinya atau pun orang lain?

# Menerima “eros” (baik yang mencintai atau pun yang dicintai) sebagai hal yang wajar yang bisa terjadi pada setiap manusia.

# Pikirkan, renungkan, pergumulkan di hadapan Tuhan, apakah kriteria orang yang kita cintai atau yang mencintai kita sesuai dengan kehendak Tuhan, yaitu seiman yang tidak boleh kita ubah apa pun yang terjadi (“…, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya.” 1 Korintus 7:39).

# Menyatakan sikap, yaitu :
+ Kalau dicintai : jawablah dengan jelas (ya – tunggu - tidak), segera (jangan pernah mempermainkan cintanya), sopan, dan tegas.
+ Kalau mencintai : nyatakanlah dengan jelas, baik secara langsung atau pun tidak langsung dengan terlebih dahulu mengenali sifat / kondisinya, pada waktu yang tepat, sopan, tidak memaksa, dan siap ditolak.

Inilah yang bisa saya sampaikan di bulan yang penuh kasih ini. Biarlah kita semakin mengerti tentang “eros” yang sering muncul di hati setiap kita. Ingatlah bahwa bukan kita yang memilih “eros”, tapi “eros” yang memilih kita. “Eros” punya waktu, musim, dan alasannya sendiri untuk datang dan pergi. Kita tidak bisa memaksa “eros” untuk datang ke dalam atau pergi dari kehidupan kita. Yang bisa kita lakukan hanyalah bersyukur dan memeluknya saat ia datang, dan tetap bersyukur dan membiarkannya pergi saat ia ingin pergi. “Eros” sudah menjadi misteri dan akan tetap menjadi misteri dalam kehidupan manusia. Berbahagialah saat “eros” datang ke dalam hidupmu walau hanya untuk sesaat. Jangan sedih jika “eros” memilih untuk pergi, karena jika kamu tetap membuka hatimu, “eros” akan datang lagi pada saat yang tidak kamu duga.

Menghargai Orang Lain


Dikisahkan, di sebuah pesta perpisahan sederhana pengunduran diri seorang direktur. Diadakan sebuah sesi acara penyampaian pesan, kesan, dan kritikan dari anak buah kepada mantan atasannya yang segera memasuki masa pensiun dari perusahaan tersebut.

Karena waktu yang terbatas, kesempatan tersebut dipersilahkan dinyatakan dalam bentuk tulisan. Diantara pujian dan kesan yang diberikan, dipilih dan dibingkai untuk diabadikan kemudian dibacakan di acara tersebut, yakni sebuah catatan dengan gaya tulisan coretan dari seorang office boy yang telah bekerja cukup lama di perusahaan itu.

Dia menulis semuanya dengan huruf kapital sebagai berikut, "Yang terhormat Pak Direktur. Terima kasih karena Bapak telah mengucapkan kata "tolong", setiap kali Bapak memberi tugas yang sebenarnya adalah tanggung jawab saya. Terima kasih Pak Direktur karena Bapak telah mengucapkan "maaf", saat Bapak menegur, mengingatkan dan berusaha memberitahu setiap kesalahan yang telah diperbuat karena Bapak ingin saya merubahnya menjadi kebaikan.

Terima kasih Pak Direktur karena Bapak selalu mengucapkan "terima kasih" kepada saya atas hal-hal kecil yang telah saya kerjakan untuk Bapak. Terima kasih Pak Direktur atas semua penghargaan kepada orang kecil seperti saya sehingga saya bisa tetap bekerja dengan sebaik-baiknya, dengan kepala tegak, tanpa merasa direndahkan dan dikecilkan. Dan sampai kapan pun bapak adalah Pak Direktur buat saya. Terima kasih sekali lagi. Semoga Tuhan meridhoi jalan di mana pun Pak Direktur berada. Amin."

Setelah sejenak keheningan menyelimuti ruangan itu, serentak tepuk tangan menggema memenuhi ruangan. Diam-diam Pak Direktur mengusap genangan airmata di sudut mata tuanya, terharu mendengar ungkapan hati seorang office boy yang selama ini dengan setia melayani kebutuhan seluruh isi kantor.

Pak Direktur tidak pernah menyangka sama sekali bahwa sikap dan ucapan yang selama ini dilakukan, yang menurutnya begitu sederhana dan biasa-biasa saja, ternyata mampu memberi arti bagi orang kecil seperti si office boy tersebut.

Terpilihnya tulisan itu untuk diabadikan, karena seluruh isi kantor itu setuju dan sepakat bahwa keteladanan dan kepemimpinan Pak Direktur akan mereka teruskan sebagai budaya di perusahaan itu.

Pembaca Yang Budiman,

Tiga kata "terimakasih, maaf, dan tolong" adalah kalimat pendek yang sangat sederhana tetapi mempunyai dampak yang positif. Namun mengapa kata-kata itu kadang sangat sulit kita ucapkan? Sebenarnya secara tidak langsung telah menunjukkan keberadaban dan kebesaran jiwa sosok manusia yang mengucapkannya, apalagi jika diucapkan oleh seorang pemimpin kepada bawahannya.

Pemimpin bukan sekedar memerintah dan mengawasi, tetapi lebih pada sikap keteladanan lewat cara berpikir, ucapan, dan tindakan yang mampu membimbing, membina, dan mengembangkan yang dipimpinnya sehingga tercipta sinergi dalam mencapai tujuan bersama.

Tentu bagi siapapun kita perlu membiasakan mengucapkan kata-kata pendek seperti terima kasih, maaf, dan tolong dimana pun, kapan pun, dan dengan siapa pun kita berhubungan. Dengan mampu menghargai orang lain minimal kita telah menghargai diri kita sendiri.

Bersyukur Setiap Saat


Buku Telepon


Suatu ketika di ruang kelas sekolah menengah, terlihat suatu percakapan yang menarik. Seorang Pak Guru, dengan buku di tangan, tampak menanyakan sesuatu kepada murid-muridnya di depan kelas. Sementara itu, dari mulutnya keluar sebuah pertanyaan.

"Anak-anak, kita sudah hampir memasuki saat-saat terakhir bersekolah disini. Setelah 3 tahun, pencapaian terbesar apa yang membuat kalian bahagia ?. Adakah hal-hal besar yang kalian peroleh selama ini ?"

Murid-murid tampak saling pandang. Terdengar suara lagi dari Pak Guru, "Ya, ceritakanlah satu hal terbesar yang terjadi dalam hidup kalian ..."

Lagi-lagi semua murid saling pandang, hingga kemudian tangan Pak Guru itu menunjuk pada seorang murid.

"Nah, kamu yang berkacamata, adakah hal besar yang kamu temui ? Berbagilah dengan teman-temanmu ..."

Sesaat, terlontar sebuah cerita dari si murid, "Seminggu yang lalu, adalah saat-saat yang sangat besar buat saya. Orang tua saya, baru saja membelikan sebuah motor, persis seperti yang saya impikan selama ini."

Matanya berbinar, tangannya tampak seperti sedang menunggang sesuatu. "Motor sport dengan lampu yang berkilat, pasti tak ada yang bisa mengalahkan kebahagiaan itu !"

Pak Guru tersenyum.
Tangannya menunjuk beberapa murid lainnya.
Maka, terdengarlah beragam cerita dari murid-murid yang hadir.

Ada anak yang baru saja mendapatkan sebuah mobil.
Ada pula yang baru dapat melewatkan liburan di luar negeri.
Sementara, ada murid yang bercerita tentang keberhasilannya mendaki gunung.

Semuanya bercerita tentang hal-hal besar yang mereka temui dan mereka dapatkan. Hampir semua telah bicara, hingga terdengar suara dari arah belakang.

"Pak Guru ... Pak, saya belum bercerita."

Rupanya, ada seorang anak di pojok kanan yang luput dipanggil.

Matanya berbinar. Mata yang sama seperti saat anak-anak lainnya bercerita tentang kisah besar yang mereka punya.

"Maaf, silahkan, ayo berbagi dengan kami semua," ujar Pak Guru kepada murid berambut lurus itu.

"Apa hal terbesar yang kamu dapatkan?" ujar Pak Guru mengulang pertanyaannya kembali.

"Keberhasilan terbesar buat saya, dan juga buat keluarga saya adalah ... saat nama keluarga kami tercantum dalam Buku Telepon yang baru terbit 3 hari yang lalu."

Sesaat senyap.

Tak sedetik, terdengar tawa-tawa kecil yang memenuhi ruangan kelas itu.
Ada yang tersenyum simpul, terkikik-kikik, bahkan tertawa terbahak mendengar
cerita itu.

Dari sudut kelas, ada yang berkomentar, "Ha ? Saya sudah sejak lahir menemukan nama keluarga saya di Buku Telepon."

"Buku Telepon ?
Betapa menyedihkan ... hahaha ..."

Dari sudut lain, ada pula yang menimpali, "Apa tak ada hal besar lain yang kamu dapat selain hal yang lumrah semacam itu ?"

Lagi-lagi terdengar derai-derai tawa kecil yang masih memenuhi ruangan.
Pak Guru berusaha menengahi situasi ini, sambil mengangkat tangan.

"Tenang sebentar anak-anak, kita belum mendengar cerita selanjutnya. Silahkan teruskan, Nak ..."

Anak berambut lurus itu pun kembali angkat bicara.

"Ya, memang itulah kebahagiaan terbesar yang pernah saya dapatkan.
Dulu, Papa saya bukanlah orang baik-baik.
Karenanya, kami sering berpindah-pindah rumah.
Kami tak pernah menetap, karena selalu merasa di kejar polisi."

Matanya tampak menerawang.
Ada bias pantulan cermin dari kedua bola mata anak itu, dan ia melanjutkan.

" Tapi, kini Papa telah berubah.
Dia telah mau menjadi Papa yang baik buat keluarga saya.
Sayang, semua itu tidak butuh waktu dan usaha.

Tak pernah ada Bank dan Yayasan yang mau memberikan pinjaman modal buat bekerja. Hingga setahun lalu, ada seseorang yang rela meminjamkan modal buat Papa saya.

Dan kini, Papa berhasil.
Bukan hanya itu, Papa juga membeli sebuah rumah kecil buat kami.
Dan kami tak perlu berpindah-pindah lagi."

"Tahukah kalian, apa artinya kalau nama keluarga saya ada di Buku Telepon?

Itu artinya, saya tak perlu lagi merasa takut setiap malam dibangunkan Papa untuk terus berlari. Itu artinya, saya tak perlu lagi kehilangan teman-teman yang saya sayangi.

Itu juga berarti, saya tak harus tidur di dalam mobil setiap malam yang dingin. Dan itu artinya, saya, dan juga keluarga saya, adalah sama derajatnya dengan keluarga-keluarga lainnya."

Matanya kembali menerawang. Ada bulir bening yang mengalir.

" Itu artinya, akan ada harapan-harapan baru yang saya dapatkan nanti ..."

Kelas terdiam.
Pak Guru tersenyum haru.
Murid-murid tertunduk.

Mereka baru saja menyaksikan sebuah fragmen tentang kehidupan. Mereka juga baru saja mendapatkan hikmah tentang pencapaian besar, dan kebahagiaan.

Mereka juga belajar satu hal :
" Bersyukurlah dan berbahagialah setiap kali kita mendengar keberhasilan orang lain.Sekecil apapun ...Sebesar apapun ..."


Aku bersyukur kepada-Mu, sebab Engkau telah menjawab aku dan telah menjadi keselamatanku. ~ Mzm 118:21

Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya. ~ Mzm 139:14
Sahabat...

Tidak menyimpan dendam dan amarah
Walau sering merasa kecewa
Namun cepat memberi maaf

Tidak memendam rasa curiga
Namun memberi percaya

Tempatku berbagi suka dan duka
Tanpa takut akan disebarkan

Membuatku selalu bersemangat
Membuatku selalu tersenyum
Bahkan tertawa
Membuatku senang menikmati hidup
Membuatku tetap ceria
Membuatku jadi diriku sendiri

Menjauhkanku dari bahaya
Menjagaku tetap di jalan yang benar

Berani menegur saat aku salah
Dan mau ku tegur saat salah

Mendukung semua keputusan benarku
Saat semua orang tidak

Menghibur saat ku sedih
Memberi kekuatan saat ku lemah

Tidak selalu ada saat aku inginkan
Namun selalu ada saat aku butuhkan
Bahkan saat semua orang menolakku
Kau tetap di sampingku

"Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu
Dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran"
(Amsal 17 : 17)

Konflik dalam Pandangan Budaya Jawa dan Iman Kristen


Pendahuluan


Konflik merupakan gejala yang tidak terpisahkan dari hidup manusia. Konflik bukanlah hal yang baru timbul karena peradaban modern. Sejak zaman dahulu konflik telah hadir dalam kenyataan hidup sehari-hari. Mitologi Yunani, Romawi, Persia, India, Mesir, atau Jawa sekalipun menggambarkan berbagai konflik baik yang terjadi ditengah-tengah dewa-dewa, malaikat, makhluk-makhluk bukan manusia, maupun di antara mereka dengan manusia, bahkan di antara manusia dengan manusia. Contohnya cerita Mahabarata, dewa-dewa Olympus, epic Gilgamesh, atau Ahura Mazda. Semua itu menjadi bukti bahwa sesungguhnya konflik tidaklah terlepas dari kehidupan manusia.

Robby I. Candra dalam bukunya yang berjudul Konflik Dalam Hidup Sehari-hari, mengutip pendapat dari Joyce Hocker dan William Wilmot yang mendefinisikan pandangan tentang konflik yang umumnya tersebar secara merata dalam berbagai budaya diseluruh dunia.

1. “Konflik adalah hal yang abnormal karena hal yang normal adalah keselarasan.” Mereka yang menganut pandangan ini, pada dasarnya bermaksud untuk menyampaikan bahwa, suatu konflik hanyalah merupakan gangguan stabilitas. Karena konflik dilihat sebagai suatu gangguan, maka harus diselesaikan secepat-cepatnya, apapun penyebabnya (walaupun mungkin saja terjadi bahwa penyebabnya yang terdalam tidak diketemukan). Dengan kata lain, keprihatinan utama ialah terselesaikannya keadaan tidak normal yang muncul tadi walaupun akar masalahnya tidak terbongkar.

2. “Konflik sebenarnya hanyalah suatu perbedaan atau salah paham.” Kata-kata seperti itu, sering diucapkan oleh orang-orang yang terlibat dalam sebuah konflik. Dengan kata lain, konflik tidak dinilai sebagai hal yang terlalu serius. Bahkan, menurut penganut pendapat ini penyebab konflik hanyalah kegagalan berkomunikasi dengan baik, sehingga pihak lain tidak dapat memahami maksud kita yang sesungguhnya.

3. “Konflik adalah gangguan yang hanya terjadi karena kelakuan orang-orang yang tidak beres.” Pendapat ini sering pula diungkapkan dengan cara lain. Orang-orang yang senang berkonflik adalah orang yang anti-sosial, paranoia, ngawur, dan senang berkelahi.
Dalam budaya Jawa, konflik merupakan hal yang abnormal dan harus dihindari, sehingga bisa disebut bahwa budaya Jawa termasuk dalam golongan pertama menurut definisi dari Joyce Hocker dan William Wilmot yang telah dituliskan di atas.

Tulisan ini akan membandingkan bagaimana pandangan dari budaya Jawa dengan Alkitab (Iman Kristen) mengenai konflik. Di akhir tulisan, penulis juga akan memberikan refleksi mengenai sejauh mana kita harus melihat konflik dalam kehidupan sehari-hari.

Pandangan Dasar Hidup Orang Jawa (Religiusitasnya)

Untuk memahami bagaimana orang Jawa memandang suatu konflik, terlebih dahulu kita harus dapat memahami pandangan dasar hidupnya (religiusitasnya). Sejak semula, orang Jawa sudah memiliki kepercayaan. Pusat yang paling dalam dari religiusitas ini ialah adanya kepercayaan dan penyembahan terhadap roh-roh yang ada di sekitar kehidupannya, dan yang lazim disebut dengan animisme di satu pihak, dan kepercayaan serta penyembahan terhadap adanya daya-daya di sekitarnya, atau yang lazim disebut dengan dinamisme di pihak lain. Dalam praktek kehidupan sehari-hari, dua kepercayaan dengan segala praktek penyembahannya ini hampir tidak dapat dipisahkan satu terhadap yang lain. Perpaduan antara dua kepercayaan itu sering disebut dengan sebutan animodinamisme. Berdampingan dengan kepercayaan yang demikian itu, terdapat pula pandangan dasar kehidupan yang mengakui akan adanya satu realitas tunggal dalam kehidupan orang Jawa, yang sekaligus merupakan pusat atau titik temu segala realitas yang lain. Dalam terang pandangan ini, maka realitas yang lain sebenarnya dipahami hanya sebagai bagian-bagian (pancaran) dari satu realitas tunggal tersebut. Realitas tunggal itu tidak ada lain kecuali alam semesta ini (kosmos) dengan segala tata tertibnya sendiri. Kepercayaan ini selanjutnya disebut dengan sebutan kosmomonisme. Dengan kata lain, Kosmomonisme ialah paham dalam masyarakat jawa dimana hanya ada satu realitas tunggal yaitu alam semesta ini.

Dengan kepercayaan yang demikian itu maka kosmomonisme tidak mengenal kepercayaan kepada Allah. Dengan demikian, maka paham kosmomonisme bersifat non-theistis. Dalam hubungan ini harus disadari bahwa alam semesta itu sendiri bukanlah Allah dan tidak dapat disamakan dengan Allah. Walaupun demikian alam semesta itu sendiri memiliki tata tertib yang berwatak ilahi, dan manusia tidak mempunyai pilihan lain kecuali menerimanya. Karena itulah maka dalam arti yang paling dasar paham kosmomonisme tidak memiliki konsep tentang Allah.

Sebagai suatu realitas tunggal, maka alam semesta merupakan suatu totalitas yang terdiri dari segala yang ada. Walaupun dalam batas tertentu segala yang ada di dalam alam ini memang memiliki kemandiriannya sendiri, namun realitas-realitas itu tetap tergantung kepada alam semesta sebagai satu-satunya realita yang total. Ide dasar pemikiran yang demikian itulah yang menjadikan paham kosmomonisme ini memiliki jiwa yang bersifat inklusif, yaitu jiwa yang cenderung untuk menerima keberbagai-macaman di dalam satu wadah. Sikap inklusif inilah yang menjadi dasar pandangan orang Jawa untuk mau mengakui dan menerima perbedaan-perbedaan yang ada, namun bagaimanapun perbedaan-perbedaan itu tetap terikat di dalam satu kesatuan realitas alam. Dengan kata lain, perbedaan-perbedaan yang ada itu tetap harus dihayati di dalam jiwa kebersamaan yang hakiki. Jadi betapapun ada perbedaan-perbedaan, namun mereka memiliki titik temu di dalam ketergantungan kepada satu realita yang sama yaitu alam semesta.

Manifestasinya

Sebagai realita tunggal, alam semesta memiliki tata tertibnya, yang pada intinya adalah keselarasan atau harmoni. Keselarasan ini dimanifestasikan pertama-tama pada perputaran musim yang bergerak secara dinamis. Karena itulah maka pergantian musim menjadi simbol keselarasan baik bagi alam itu sendiri maupun juga bagi manusia. Keselarasan atau harmoni ini pula yang juga tetap menjiwai prinsip kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya. Manifestasi dari prinsip harmoni ini masih dapat terlihat di dalam manifestasi kehidupan:

1. Tata tertib alam yang nampak dalam perputaran musim telah dipakai sebagai dasar bagi orang Jawa dalam mebuat perhitungan waktu. Karena itu maka sebenarnya masyarakat Jawa tidak memiliki bulan. Waktu diperhitungkan berdasarkan pada perhitungan “mangsa”, atau musim, yakni musim pertama, kedua, ketiga dan seterusnya.

2. Karena pada hakekatnya alam semesta itu tertata secara harmonis atau selaras, maka prinsip hidup di dalam kebersamaan tidak ada lain kecuali harmoni, keselarasan, keserasian. Prinsip harmoni ini pula yang akan dipakai sebagai dasar untuk menyelesaikan segala persoalan kehidupan bersama yang mengarah pada terjadinya konflik terbuka.

3. Karena tata tertib alam itu termanifestasi di dalam perputaran musim yang dinamis, maka ada kecenderungan untuk menerima pergantian kedudukan di dalam kehidupan bersama itu sebagai yang wajar. Secara khusus prinsip ini nampak dan terungkap di dalam semboyan hidup: samu barang iku gilir gumanti (segala sesuatu itu bergilir berganti sesuai dengan prinsip harmoni).

Sikap hidup yang berpusat pada alam sebagai realitas tunggal ini telah memberikan sisi pandang yang bersifat holistik kepada masyarakat Jawa. Artinya segala sesuatu yang terjadi dalam alam semesta ini dapat dimengerti hanya apabila ditempatkan dalam keseluruhan tata tertib alam. Dalam praktek kehidupan sehari-hari, manusia memang dibedakan dari segala kehidupan yang ada di dalam alam semesta ini. Ini nampak dalam hal bahwa segala yang ada di dalam alam semesta ini, kecuali manusia, secara pasif mengikuti saja tata tertib alam. Tetapi tidak demikian dengan manusia. Sebab dalam rangka menjalani hidup untuk menyesuaikan diri dengan tata tertib alam, ada kemungkinan manusia itu mengambil keputusan-keputusan hidup yang bertentangan dengan tata tertib alam. Karena kemampuan dan kebebasan yang demikian itulah maka manusia, setiap pribadi, dipandang juga sebagai alam tersendiri (jagad tersendiri). Karena itulah maka manusia juga sering disebut dengan jagad cilik, mikrokosmos. Sebagai jagad cilik, manusia mempunyai kekuasaan dan kebebasan untuk menata dirinya sendiri (sekalipun terbatas tentu). Justru di sinilah letak pertanggungjawaban hidup, yaitu bagaimana jagad cilik ini tetap mampu menata dirinya di dalam keseluruhan tata tertib alam semesta yang kepadanya jagad cilik itu tunduk. Dialektika antara jagad cilik (mikrokosmos) dan jagad gedhe (makrokosmos) inilah yang juga kelak menjadi pusat etika Jawa. Dialektika ini akan senantiasa menjadi masalah selamanya bagi manusia. Tentu dalam upaya menyelesaikan dialektika kehidupan itu masyarakat Jawa tetap mengacu kepada prinsip harmoni.

Menurut Hildred Geertz, ada dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Kaidah-kaidah yang dimaksud, pertama adalah kaidah yang mengatakan bahwa dalam situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri hendaknya selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukan mereka.

Magnis Suseno dalam bukunya Etika Jawa menamakan kedua kaidah tersebut dengan sebutan prinsip kerukunan untuk kaidah pertama dan sebutan prinsip hormat untuk kaidah yang kedua. Lebih jauh lagi ia menguraikan bahwa prinsip kerukunan itu bertujuan untuk mempertahankan masyarakat agar dalam keadaan harmonis yang disebut sebagai keadaan rukun. Rukun yang dimaksud di sini adalah suatu keadaan di mana suasana ada dalam keadaan selaras, tenang, dan tentram tanpa ada perselisihan dan pertentangan, bersatu dengan tujuan untuk saling membantu. Ada dua segi dalam tuntutan kerukunan itu. Segi pertama, tentang pandangan Jawa yang dalam penekanan arti selaras itu masalahnya bukan penciptaan keadaan sosial, melainkan lebih untuk tidak mengganggu keselarasan yang diandaikan sudah ada. Segi kedua, prinsip kerukunan semata-mata bukan menyangkut suatu sikap batin atau keadaan jiwa, melainkan sebagai penjagaan keselarasan dalam pergaulan. Yang dijaga adalah pengaturan permukaan hubungan-hubungan sosial yang kentara, dan yang perlu dijaga dan dicegah adalah konflik-konflik terbuka. Jadi prinsip kerukunan ini bersifat negatif. Sebab prinsip ini menuntut orang agar mencegah segala cara kelakuan yang bisa mengganggu keselarasan dan ketenangan dalam masyarakat. Dengan kata lain, diharapkan bahwa prinsip kerukunan ini mendapatkan penerapannya dalam segala bidang kehidupan.

Apabila orang Jawa telah dewasa, maka ia telah membatinkan bahwa kesejahteraannya, bahkan eksistensinya tergantung pada kesatuan dengan kelompoknya. Dengan demikian, secara psikologis keadaan rukun itu diterjemahkan baginya ke dalam keadaan di mana tidak ada perasaan-perasaan negatif, yaitu suatu keadaan yang aman dan tentram.

Kaidah kedua yang disebut oleh Magnis Suseno sebagai prinsip hormat, memainkan peranan penting dalam hal pola interaksi dalam masyarakat Jawa. Prinsip ini mengatakan bahwa setiap orang dalam bersikap dan membawa diri serta dalam caranya berbicara, hendaknya selalu harus memperlihatkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Prinsip hormat ini dilandasi pendapat bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hierarkis (hal ini sesuai dengan pola keselarasan yang ada dalam kosmomonisme).

Dari semua penjelasan yang ada, kita dapat melihat bahwa sesungguhnya konflik adalah hal yang abnormal dalam budaya Jawa. Hal ini disebabkan karena dalam pandangan hidup orang jawa diutamakan adanya keselarasan dalam suatu kesatuan kosmos. Lalu bagaimana agama agama Kristen melihat suatu konflik?

Konflik menurut pandangan agama Kristen

Paulus dalam beberapa suratnya kepada jemaat-jemaat Kristen, memperingatkan jemaat untuk tidak terpecah-pecah. Sebagai contoh adalah surat Efesus. Dalam surat Efesus, penulis nampaknya ingin menguatkan jemaat untuk dapat mencapai kesatuan dalam iman, mencapai kedewasaan penuh, mencapai tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga mereka tidak lagi diombang-ambingkan oleh rupa-rupa pengajaran, oleh permainan palsu manusia (Efesus 4: 13-14).

Pada bagian awal surat yang mencakup pasal 2-3, dipaparkan bahwa sesungguhnya para pembaca telah mati dalam dosa, mereka hidup dibawah kuasa-kuasa dunia ini dan pada hakikatnya, merupakan anak-anak durhaka, tetapi kini Allah telah membangkitkan mereka. Ini merupakan anugrah; tidak berdasarkan perbuatan, sehingga tak seorangpun boleh bangga. Orang-orang Kristen bukan Yahudi, yang dahulu adalah orang asing, kini menjadi dekat melalui darah Kristus yang telah meruntuhkan dinding pemisah (Hukum Taurat).

Pada bagian kedua (4:1-6:20), surat ini menekankan adanya kesatuan (satu tubuh, satu Roh, satu pengharapan, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, dan lain-lain). Orang Kristen yang telah ditebus itu dipersatukan dalam satu Tubuh dengan Kristus sebagai kepalanya. Hal ini berarti juga ada konsekuensi yang harus ditanggung oleh orang Kristen, yakni meninggalkan manusia lama dan hidup sebagai manusia baru yakni penurut-penurut Kristus. Penurut-penurut Kristus berarti juga melakukan kebaikan sesuai dengan kehendak Tuhan dan meninggalkan kehidupan yang penuh dosa. Dari surat Paulus tersebut, kita dapat melihat dua hal:

1. Bahwa sesungguhnya jemaat-jemaat Kristen pun tidak terlepas dari konflik ataupun permasalahan.

2. Bahwa ada kesamaan yang terdapat dalam ajaran Kristen maupun budaya Jawa dimana konflik dilihat sebagai sesuatu yang abnormal dan harus dihindari.

Bagaimana seharusnya kita melihat konflik? Apakah konflik harus dihindari? Konflik sesungguhnya merupakan suatu keadaan yang abnormal sekaligus normal. Konflik menjadi abnormal manakala kita melihat bahwa keadaan yang ideal adalah keselarasan. Namun disatu sisi kita juga harus menyadari bahwa konflik adalah keadaan yang tidak dapat kita hindari dalam kehidupan ini. Seringkali, konflik dilihat sebagai sesuatu yang negatif, yang karenanya konflik terbuka haruslah dihindari. Namun sesungguhnya konflik tidaklah selalu berakhir dengan negatif. Bisa jadi, konflik justru menjadi titik tolak untuk adanya sebuah kemajuan. Atau dengan kata lain, konflik sesungguhnya dapat berakhir atau menghasilkan hal-hal yang baik jika diselesaikan atau ditangani dengan baik. Justru jika tidak ditangani dengan baik atau jika suatu konflik senantiasa dihindari, bisa jadi akan berakibat fatal yakni menimbulkan konflik yang lebih besar lagi. Sebagai contoh, seorang suami selalu memendam perasaan kesalnya kepada istrinya karena si istri jarang membuatkan masakan untuknya. Hal tersebut dilakukan suami karena sang suami tidak mau berkonflik dengan istrinya. Sedangkan istrinya, ia merasa bahwa tidak ada masalah dengan dirinya sebab sang suami tidak pernah menegurnya. Suatu kali kesabaran sang suami telah habis. Karena telah lama memendam amarahnya, sang suami pun pada akhirnya memutuskan untuk bercerai dengan istrinya.

Contoh demikian banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Seandainya suami tadi mau mengkomunikasikan perasaannya kepada istrinya, mungkin saja sang istri dapat berubah dan mereka tidak perlu bercerai. Namun tentu saja kita tidak dapat mengambil kesimpulan bahwa menghindari konflik terbuka pasti akan menghasilkan buah yang negatif. Masih ada orang yang bisa menjaga keselarasan dan keharmonisan dan mereka merasa nyaman dengan keadaan tersebut. Tetapi, alangkah lebih baik jika suatu konflik itu dapat dihadapi dengan ketenangan hati (tidak panik) serta ditangani dengan baik. Sebab, dengan penanganan yang baik suatu konflik dapat mendatangkan kebaikan bagi semua.

Masihkah Penginjilan itu Kontekstual???


Saya ingat betul ketika pertama kali membaca buku “Bukan Sekedar Jumlah” karangan Dr. Paul Y. Cho, saya merasa tertantang untuk bisa memajukan gereja di Indonesia seperti halnya Dr. Paul Yonggi Cho memajukan gereja di Korea. Berbagai cara dan pengalaman yang ia miliki, ia tulis dalam buku itu agar kita pun dapat mengembangkan gereja. Namun, sebuah bacaan kemudian mendorong saya untuk kemudian berpikir ulang, apakah penginjilan yang sesungguhnya kontekstual di Indonesia itu? Inilah sebuah bacaan yang saya maksudkan itu:

GURU ZEN DAN SEORANG KRISTEN

Seorang Kristen suatu hari mengunjungi seorang guru Zen dan berkata: “Bolehkah aku membacakan beberapa kalimat dari Khotbah di Bukit?
“Silahkan, dengan senang hati aku akan mendengarkannya,” kata guru Zen itu.
Orang Kristen itu membaca beberapa kalimat, lalu berhenti sejenak dan melihat guru Zen. Guru Zen tersenyum dan berkata: “Siapapun yang pernah mengucapkan kalimat-kalimat ini, pastilah sudah mendapatkan penerangan budi.”
Orang Kristen itu senang. Ia meneruskan membaca. Sang guru Zen menyela dan berkata: “Orang yang mengucapkan ajaran ini, sungguh dapat disebut penyelamat dunia. ”Orang itu sangat senang. Ia terus membaca sampai habis. Lalu sang guru Zen berkata: “Khotbah itu disampaikan oleh seorang yang memancarkan cahaya ilahi.”
Sukacita orang Kristen itu meluap-luap tanpa batas. Ia minta diri dan bermaksud kembali untuk meyakinkan guru Zen itu, agar ia sendiri sepantasnya menjadi seorang Kristen juga.
Dalam perjalanan pulang ke rumahnya, ia berjumpa dengan Kristus di pinggir jalan. “Tuhan”, serunya dengan penuh semangat, “Saya berhasil membuat orang itu mengaku bahwa Engkau adalah Tuhan.” Yesus pun tersenyum dan berkata: “Apa gunanya hal itu bagimu, selain membesarkan “ego” Kristenmu?”

Cerita di atas, yang saya ambil dari buku “Burung Berkicau”, sesungguhnya ingin menegur dan menyentil setiap orang (baca: Kristen) yang merasa bahwa jalan untuk menyenangkan Tuhan adalah dengan membawa banyak jiwa, tanpa memperhatikan konteks yang ada. Setiap agama tentu merasa diri lebih baik dari agama atau kepercayaan yang lain. Hal itu juga dialami dan dilakukan oleh agama Kristen. Bahkan, antar gereja Kristen pun saling berlomba untuk mendapatkan banyak jemaat. Berbagai cara dan usaha ditempuh untuk dapat menarik jemaat sebanyak-banyaknya.

Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah itu tugas orang Kristen? Apakah tugas kita hanya untuk mencari jiwa dan mengabarkan injil? Jika Yesus hadir pada saat ini, apakah Ia akan sibuk melakukan khotbah di gereja-gereja? Ada banyak pertanyaan yang seharusnya kita gumuli sebagai orang Kristen dan tulisan ini berusaha menjadi cermin bagi orang Kristen dalam melihat sejauh apa orang Kristen sudah berkarya.

Kekristenan (gereja) dalam konteks Asia, terkhusus dalam konteks Indonesia, berada dalam lingkungan yang diwarnai dengan pluralitas (kebudayaan, agama, suku, dan lain-lain), kemiskinan, dan ketidakadilan (tindak kriminal, penindasan, kurangnya penghargaan terhadap perempuan). Selain itu, gereja juga masih dihadapkan pada permasalahan global warming (kerusakan ekosistem). Sudah tentu kita sebagai orang Kristen yang ingin berkarya dalam konteks Asia, terutama di Indonesia, harus dapat memperhatikan konteks kehidupan yang ada serta permasalahan tersebut.

1. Pluralitas
Apa jadinya jika di dunia ini hanya ada satu warna saja, entah itu putih, hitam, atau apapun juga? Atau pernahkah kita membayangkan jika hanya ada satu tipe wajah manusia? Betapa membosankannya dunia ini! Syukurlah dunia ini dipenuhi dengan warna dan budaya sehingga kita bisa sangat menikmati waktu-waktu berlibur di lingkungan atau tempat yang lain. Mungkin anda setuju dengan pendapat saya. Namun, realita berkata lain! Banyak orang yang tidak menyukai adanya perbedaan, banyak orang yang tidak menghargai keanekaragaman dan banyak orang merasa diri lebih baik.

Indonesia hanya terdiri dari satu bendera, tetapi banyak agama dan suku. Itulah sebagian dari lirik lagu “Satu Bendera” yang dinyanyikan oleh Presiden Band. Harapan dari Presiden Band dalam pembuatan lagu itu adalah agar bangsa Indonesia yang meskipun terdiri dari berbagai macam kelompok tetap menjadi satu dibawah bendera merah putih. Apakah mudah menghargai perbedaan? Tidak. Dibutuhkan usaha untuk itu, namun yang terpenting adalah adanya kemauan. Kemauan untuk dapat menghargai dan mengakui bahwa perbedaan dan keanekaragaman adalah sesuatu yang wajar dan baik adanya.

Gereja pun sudah seharusnya dapat menghargai perbedaan dan keanekaragaman itu. Namun, sejauh apa gereja memberdayakan keanekaragaman dan perbedaan itu haruslah diperhatikan. Perlu kita perhatikan bahwa menghargai tidak harus dan berarti sama dengan kita mengikuti dan menjalankan. Sebagai contoh adalah budaya “sedekah laut”, “sedekah laut” merupakan suatu upacara kejawen yang ada di di pulau jawa. Gereja sudah seharusnya menghormati kebiasaan dan adat istiadat yang berbeda dengan yang diyakini tersebut. Namun, tidak berarti bahwa kita sebagai orang kristen juga harus melakukan “sedekah laut” sebagai wujud penghormatan tersebut. Sudah seharusnya gereja mampu memilah-milah mana tradisi atau budaya yang baik dan mana yang tidak untuk diserap ke dalam agama kristen. Ada berbagai pandangan dan sikap yang dapat diberikan oleh gereja terhadap budaya. H. Richard Niebuhr merupakan salah seorang Teolog yang telah memaparkan sikap-sikap gereja, yang kemudian pendapatnya tersebut dikembangkan oleh Emanuel Gerrit Singgih. Menurut H. Richard Niebuhr, Sikap-sikap gereja terhadap kebudayaan adalah:

a. Sikap Radikal
Sikap ini sama sekali tidak mengakui hubungan antara iman dan budaya. Iman dipahami sebagai sesuatu yang berasal dari atas atau dari Tuhan, sedangkan budaya berasal dari bawah atau manusia. Dengan kata lain bahwa gereja menolak budaya.

b. Sikap Akomodatif
Sikap ini merupakan kebalikan dari sikap radikal. Tidak ada pertentangan sama sekali antara iman dan kebudayaan. Nilai-nilai yang menjadi dambaan masyarakat dianggap sebagai nilai-nilai yang juga dikejar dalam penghayatan iman.

c. Sikap Sintetik
Sikap ini merupakan bagian dari sikap akomodatif. Dalam sikap ini, injil dan kebudayaan merupakan suatu kesatuan yang saling mengisi. Iman melengkapi dan menyempurnakan kebudayaan tetapi kebudayaan juga melengkapi iman.

d. Sikap Dualistik
Merupakan sikap tradisional yang dipakai oleh gereja-gereja Lutheran. Sikap ini merupakan variasi dari sikap akomodatif. Namun, sikap ini berbeda dengan sikap sintetik. Dalam konteks ini, manusia hidup dalam dua dunia, yaitu kerajaan Allah dan masyarakat. Manusia adalah warga masyarakat, sekaligus warga kerajaan Allah, namun keduanya tidak ada sangkut pautnya.

e. Sikap Transformatif
Sikap ini banyak dipakai oleh gereja-gereja Calvinis. Kebudayaan manusia telah tercemar oleh dosa. Oleh karena itu, manusia tidak perlu mengagung-agungkan peradabannya. Kita yakin, Kristus telah menang atas dosa, dan Roh Kudus telah bekerja membaharui kebudayaan dan adat istiadat, serta mentransformasikannya. Iman selalu menjadi warna atau nafas kebudayaan. Tidak ada kebudayaan Kristen, yang ada adalah kebudayaan yang bernafaskan atau dijiwai oleh iman Kristen.

Singgih kemudian merangkum kelima sikap gereja itu menjadi 2 sikap besar, yaitu konfirmasi dan konfrontasi (pembenaran dan pengecaman) yang berarti bahwa gereja tidak begitu saja menolak budaya dan adat istiadat, namun juga tidak serta merta menerima budaya dan adat istiadat.

Dr. Kwok Pui-Lan melihat bahwa sesungguhnya kita dapat mendengar suara Tuhan melalui kebudayaan. Oleh karena itu, ia melihat pentingnya memiliki proses imaginasi atau pandangan yang kreatif. Dr. Kwok Pui-Lan mengutip Sharon Parks, yang telah menyusun 5 tahapan dalam proses imaginasi atau pandangan yang kreatif. Lima tahapan tersebut adalah:
1. Menyadari adanya perbedaan.
2. Berhenti sejenak
3. Menemukan gambaran yang baru. Salah satu cara adalah dengan mencari resonansi yang sama.
4. Mempolakan kembali realita
5. Menafsirkan secara dialogis.

Jika kita dapat melewati tahap-tahap tersebut, kita akan melihat bahwa sesungguhnya Tuhan dapat berkarya dan berbicara dalam setiap budaya. Sejalan dengan itu, C.S. Song menekankan bahwa Allah yang turut menderita, ada dan bertransposisi dalam kebudayaan kita. Melalui buku Allah yang turut menderita, Song mengajak kita untuk melihat Allah yang bereinkarnasi dan bertransposisi. Allah yang bertransposisi telah melampaui Ruang dan waktu. Dengan cerdas, Song telah membebaskan Allah untuk berkarya dan juga membebaskan diri-Nya dari kungkungan egoisitas agama. Hal inilah yang kurang bisa dilakukan oleh gereja. Seringkali, gereja memberi gagang pada salib sehingga teologi dapat diputar dan digerakkan sesuka hati.

2. Kemiskinan
Ada sebuah pertanyaan menarik yang pernah saya dengar, “Apa persamaan antara banjir dan korupsi?” Jawabannya adalah sama-sama rakyat kecil (miskin) yang paling menderita. Saya mengamini jawaban itu. Memang sudah menjadi rahasia umum bahwa kemiskinan adalah masalah pelik yang sulit untuk diselesaikan di negara ini. Kemiskinan telah menyengsarakan sebagian besar masyarakat di Indonesia. Karena kemiskinan banyak anak putus sekolah, karena kemiskinan banyak orang mati kelaparan, karena kemiskinan pula banyak orang tidak mempunyai rumah dan masih banyak penderitaan lainnya yang disebabkan oleh kemiskinan, sebut saja gizi buruk, busung lapar, hingga meningkatnya angka kriminalitas.

Namun, apa sebenarnya kemiskinan itu?

Kemiskinan dapat dipahami dengan berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
• Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
• Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
• Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai.

Bagaimana seharusnya kita sebagai orang Kristen melihat keadaan ini? Kemiskinan dari kaca mata kristen, harus kita lihat sebagai berikut:

1. Kemiskinan bukanlah kondisi yang ideal.
Ingatlah bahwa Yesus pun senantiasa berempati terhadap orang miskin. Hal ini ditunjukkan tatkala Ia sendiri menyuruh kita untuk dapat mengasihi orang-orang yang hina. Hal tersebut dituliskan dalam Matius 25:40 yang berbunyi, ”Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Yesus ingin menekankan bahwa ketika kita melakukan atau memberikan kasih kita kepada orang-orang yang miskin atau yang terpinggirkan itu sama artinya kita telah melakukannya untuk Dia.

2. Dalam Injil atau Alkitab kita tidak ada pertentangan kelas. Alkitab atau Injil bukanlah sentimen atau anti terhadap orang kaya. Adanya kritikan bagi orang kaya pada masa itu karena orang kaya pada waktu itu tidak berbuat sesuai dengan ajaran Yesus.

Lalu, apa yang harus dilakukan oleh orang kristen? Siapa yang harus kita tolong?

Idealnya, kita memberikan bantuan kepada semua orang tanpa pandang bulu. Namun, dalam realita yang ada, masih banyak gereja yang pilih-pilih ketika memberikan bantuan. Menarik jika kita memperhatikan kehidupan Yesus yang banyak diwarnai dengan pelayanan-Nya itu dilakukan kepada setiap orang tanpa pandang bulu. Ia mau menyembuhkan orang lumpuh ataupun orang buta tanpa melihat mereka itu dari agama apa atau bangsa apa.

3. Ketidakadilan (tindak kriminal, penindasan, kurangnya penghargaan terhadap perempuan, dan lain-lain)
Salah satu doa saya yang belum terkabul sampai saat ini adalah ketika saya memohon kepada Tuhan agar dalam sehari saja tidak ada lagi berita mengenai kriminalitas, korupsi, pelecehan terhadap wanita, dan tindakan yang tidak adil lainnya. Kapan dunia ini akan terbebas dari ketidakadilan? Entahlah, tidak ada seorangpun di antara kita yang tahu kapan waktunya. Padahal, jika setiap orang ditanya “Apakah anda membutuhkan keadilan?” saya yakin semua akan menjawab “Iya!”. Tapi, realitanya kita semua sering melakukan ketidakadilan terhadap orang lain. Gereja pun tidak terlepas dari permasalahan ini, sebagai contoh adalah kurangnya penghargaan terhadap perempuan. Memang, sekarang gereja kristen sudah mulai terbuka dengan pendeta perempuan. Namun, apakah gereja sudah memberikan hak yang sama bagi perempuan untuk melayani? Saya kira belum. Jumlah majelis perempuan yang ada di gereja saja masih kalah jauh dari jumlah majelis pria.

Kita haruslah menyadari bahwa ketidakadilan itu disebabkan karena dalam diri manusia sesungguhnya terdapat dosa dan kejahatan. Penyakit yang bernama kejahatan itu sudah berakar dalam hati kita. Alkitab bertubi-tubi berbicara tentang hal itu dan tidak ada penyembuhan yang mudah. Hanya oleh darah Kristus, yang melimpah dari hati yang tak berdosa, yang berkuasa untuk mengalahkannya. Namun, sampai saat ini, kematian Kristus belumlah memerdekakan kita. Kejahatan masih mempunyai kekuasaan untuk membuai dunia ini. Rm. Dr. Surip Stanislaus. Ofm. Cup., seorang romo sekaligus pengarang buku “Harmoni Kehidupan dan Tragedi Kemanusiaan”, pernah berkata bahwa jalan-jalan dosa sangatlah menggiurkan ketimbang jalan-jalan kebenaran yang membutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Sebagai orang Kristen (Pengikut Kristus), sudah sepantasnyalah kita berjuang kembali untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita peroleh. Supaya dengan demikian, kita dapat menjadi semakin seperti Yesus. Kalau kita mau menjadi semakin seperti Yesus, kita pun harus belajar untuk mengasihi. Sebab, Allah itu kasih.

Bagaimana dengan ketidakadilan yang terjadi di luar gereja? Apakah gereja berani menegakkan keadilan? Untuk hal ini harus kita akui seringkali gereja menutup mata dan telinganya. Gereja seolah tidak melihat dan tidak mendengar tangisan serta jeritan dari mereka yang tertindas. Seringkali gereja tidak berbuat apa-apa. Padahal, tidak ada seorang pun disebut baik hanya berdasarkan apa yang tidak dilakukannya. Panggilan Kristus untuk penyerahan diri adalah panggilan untuk menjalani hidup yang penuh kebaikan. Kita harus mempergunakan sebaik mungkin segala kemungkinan, kesempatan, dan kepercayaan yang diberikan kepada kita.

Sekadar tidak berbuat jahat belumlah cukup. Yesus memanggil kita untuk berbuat baik dalam pengertian yang aktif. Ia memanggil kita untuk bertindak. Kebenaran ini merupakan prinsip yang penting, yang dapat ditemui dalam banyak pengajaran Yesus. Sebagai contoh, Yesus menceritakan suatu kisah tentang seorang kaya yang merencanakan untuk melakukan perjalanan jauh keluar negeri. Karena itu, ia memanggil hamba-hambanya dan mempercayakan miliknya kepada mereka. Kepada yang seorang ia memberikan lima talenta, kepada yang lain ia memberikan dua talenta, dan kepada yang lain lagi ia memberikan satu talenta. Satu talenta adalah sejumlah uang yang besar, yang sebanding dengan upah kerja selama setahun. Ia menyuruh hamba-hambanya itu untuk menjalankan kekayaannya untuk memperoleh laba selama ia pergi.

Kemudian orang kaya itu pergi. Hamba yang memperoleh lima talenta segera menjalankan uangnya. Ia berhasil dengan baik dan melipatgandakan uang tersebut. Hamba yang menerima dua talenta kedua juga melakukan hal yang sama. Tetapi hamba yang ketiga, yang hanya menerima satu talenta takut kehilangan segalanya jika ia menjalankan uangnya. Ia berpikir, “Jika aku menjalankan uang ini, aku mungkin akan kehilangan semuanya. Ini akan membangkitkan kemarahan tuanku, jadi aku akan menyembunyikan uang ini ditempat yang aman dan menyimpannya sampai ia kembali.” Jadi, hamba yang ketiga ini menguburkan uang tersebut ditempat rahasia supaya aman sampai tuannya kembali.

Ketika tuannya itu kembali, ia segera memanggil hamba-hambanya dan bertanya mengenai usaha mereka selama ia pergi. Hamba yang telah menerima lima talenta memberitahukan kepada tuannya apa yang telah dikerjakannya.

Tuannya memuji hamba itu dan memberikan kenaikan pangkat dan berkata, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu” (Mat 25:21). Ia melakukan hal yang sama terhadap hamba yang kedua.

Tuan itu kemudian memanggil hamba yang telah menerima satu talenta dan bertanya mengenai usahanya. Hamba itu memberitahukan kepada tuannya bahwa ia takut kehilangan segalanya sehingga ia menguburkan talenta itu untuk mengamankannya.

Lalu tuan itu berkata, “Hai kamu hamba yang jahat dan malas, jadi kamu sudah tahu, bahwa aku menuai ditempat dimana aku tidak menabur dan memungut ditempat dimana aku tidak dapat menanam? Karena itu, sudahlah seharusnya uangku kau berikan kepada orang yang menjalankan uang, sehingga sekembaliku aku menerimanya serta dengan bunganya” (Mat 25:26-27).

Kemudian ia menyuruh hamba-hambanya yang lain untuk mengambil talenta itu dari hamba itu dan memberikannya kepada hamba yang mempunyai sepuluh talenta. Lalu ia berkata, “Campakanlah hamba yang tidak berguna itu kedalam kegelapaaan yang paling gelap. Disanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi” (Mat 25:30). Ada tiga kata yang dipakai oleh Yesus untuk menggambarkan hamba yang ketiga:
o Ia menyebutnya jahat
o Ia menyebutnya malas
o Ia menyebutnya tidak berguna

Ini adalah kata-kata yang keras. Begitu keras sehingga kita merasa bahwa tuan ini terlalu keras kepada hamba yang ketiga ini. Padahal, apa dosanya yang besar? Ia tidak menggelapkan uang tuannya. Ia tidak menghabiskan satu sen pun untuk berfoya-foya. Ia tidak akan pernah melakukan hal seperti itu sebab ia bukan orang semacam itu. Ketika ia diminta untuk memberikan laporan atas apa yang telah dilakukannya, ia memberitahukan hal yang sebenarnya. Jadi, apa dosa orang ini? Dosanya bukanlah terletak pada apa yang dilakukannya, melainkan pada apa yang tidak dilakukannya. Ia tidak jahat. Ia hanya tidak berguna.

Yesus menceritakan perumpamaan ini untuk menyoroti hamba yang ketiga itu. Maksud Yesus ialah bahwa kita tidak boleh hidup tanpa kerja, malas, dan acuh tak acuh atas tugas yang telah diberikanNya kepada kita. Perumpamaan ini menantang kita untuk sibuk dan bekerja sampai Yesus datang kembali. Sebab, jika kita tidak melakukan kebaikan walaupun kita tidak jahat, Tuhan akan menganggap kita jahat, malas dan tidak berguna.

Lalu, mengapa seringkali gereja menutup mata dan menutup telinga ketika banyak ketidakadilan terjadi? Entahlah, mungkin gereja beranggapan bahwa permasalahan tersebut adalah permasalahan duniawi sehingga gereja yang merasa diri mengurusi masalah sorgawi tidak perlu ikut campur dalam masalah duniawi tersebut. Atau, bisa jadi gereja takut keberadaanya di dunia ini menjadi terancam? Jika alasannya demikian, berarti gereja lupa dengan pelayanan Yesus di dunia ini. Bukankah Yesus rela berkorban untuk mendatangkan shalom di dunia ini? Jika gereja takut menghadirkan shalom, perlu kita pertanyakan kembali apa fungsi dan peran gereja di dunia ini dan masihkah gereja berguna di tengah dunia ini?

4. Global Warming (Permasalahan Ekosistem)
Sadarkah kita bahwa semakin lama bumi kita ini menjadi tempat yang tidak ramah lagi untuk kita tinggali? Semakin sering kita mendengar berita mengenai adanya bencana alam yang terjadi. Musim pun semakin tidak jelas lagi. Bulan yang seharusnya musim kemarau, malah turun hujan. Sebaliknya, ketika musim penghujan seharusnya tiba ternyata hujan tak kunjung turun. Penyebab dari permasalahan-permasalahan tersebut sesungguhnya adalah global warming. Sejauh apakah gereja sudah bertindak dalam mengurangi dampak pemanasan global ini? Tampaknya kita harus melihat kepada setiap diri kita masing-masing. Entah disadari atau tidak, kita pun mempunyai andil dalam perusakan alam ini. Seandainya saja setiap orang memiliki kesadaran untuk mengurangi dampak pemanasan global ini, tentulah akan membawa pengaruh yang besar bagi kelangsungan kehidupan bumi ini.

Mencegah dampak pemanasan global agar tidak semakin parah, sesungguhnya tidak sesulit yang kita bayangkan selama ini. Mungkin kita berpikir dampak pemanasan global hanya akan berkurang jika kita menanam sejuta pohon, atau ikut menandatangani Protokol Kyoto, atau melakukan hal-hal sulit lainnya, padahal dampak pemanasan global bisa dicegah melalui hal-hal yang mudah dan sederhana, yang bisa kita mulai dari keluarga kita, bahkan dari diri kita sendiri.

Cara-cara tersebut adalah:
1. Matikan listrik. Jika tidak digunakan, jangan tinggalkan alat elektronik dalam keadaan standby. Meski listrik tak mengeluarkan emisi karbon, pembangkit listrik PLN menggunakan bahan bakar fosil penyumbang besar emisi.
2. Ganti bohlam lampu ke jenis CFL, sesuai daya listrik. Meski harganya agak mahal, lampu ini lebih hemat listrik dan awet.
3. Bersihkan lampu karena debu bisa mengurangi tingkat penerangan hingga 5%.
4. Jika terpaksa memakai air conditioner, tutup pintu dan jendela selama air conditioner menyala. Atur suhu sejuk secukupnya, sekitar 21-24°C.
5. Gunakan timer untuk air conditioner, microwave, oven, magic jar, dll.
6. Alihkan panas limbah mesin air conditioner untuk mengoperasikan water-heater.
7. Menanam tanaman atau pohon di pekarangan rumah. Satu buah pohon bisa menyerap 1 ton karbon dioksida sepanjang hidupnya.
8. Jemur pakaian di luar. Angin dan panas matahari lebih baik ketimbang memakai mesin (dryer) yang banyak mengeluarkan emisi karbon.
9. Gunakan kendaraan umum untuk mengurangi polusi udara.
10. Hematlah penggunaan air.
11. Hematlah penggunaan kertas karena bahan bakunya berasal dari kayu.
12. Kurangi sampah plastik, contohnya kalau membeli sedikit barang, cukup kita pegang saja tanpa perlu dimasukkan ke plastik, karena sampah plastik sangat sulit terurai di alam dan jika dibakar bisa menghasilkan gas berbahaya.
13. Membuang sampah pada tempatnya dan mendaur ulang sampah-sampah yang bisa didaur ulang.
14. Mengurangi frekuensi pemakaian kendaraan bermotor yang sifatnya perorangan.


Refleksi
Dari permasalahan-permasalahan dan konteks yang ada, marilah kita bertanya pada diri kita masing-masing, cukupkah kita (gereja) hanya melakukan penginjilan melalui khotbah? Apakah teologi yang kita miliki hanya sebatas wacana? Jika teologi yang kita miliki hanya sebatas wacana, marilah kita mengubah nama sekolah teologi yang menggunakan kata wacana menjadi kata praksis sehingga kita boleh disadarkan bahwa teologi bukanlah suatu wacana melainkan sebuah praksis (aksi-refleksi dan refleksi-aksi).

Sebagai sebuah cermin, mungkin tulisan ini tidak dapat menampilkan keseluruhan permasalahan dan jawaban. Tetapi, biarlah melalui cerminan yang ada itu, kita terbantu dalam usaha melihat diri kita dan mencari kehendak Allah dalam hidup kita. Melalui cermin itu pula, kita diajak untuk melihat sejauh apa gereja sudah berkarya dan kemudian membenahi diri sehingga gereja pun pada akhirnya dapat menjadi wakil Allah di dunia ini. Selamat bercermin dan berkarya! Tuhan Yesus memberkati!