Rabu, 17 Desember 2008

Masihkah Penginjilan itu Kontekstual???


Saya ingat betul ketika pertama kali membaca buku “Bukan Sekedar Jumlah” karangan Dr. Paul Y. Cho, saya merasa tertantang untuk bisa memajukan gereja di Indonesia seperti halnya Dr. Paul Yonggi Cho memajukan gereja di Korea. Berbagai cara dan pengalaman yang ia miliki, ia tulis dalam buku itu agar kita pun dapat mengembangkan gereja. Namun, sebuah bacaan kemudian mendorong saya untuk kemudian berpikir ulang, apakah penginjilan yang sesungguhnya kontekstual di Indonesia itu? Inilah sebuah bacaan yang saya maksudkan itu:

GURU ZEN DAN SEORANG KRISTEN

Seorang Kristen suatu hari mengunjungi seorang guru Zen dan berkata: “Bolehkah aku membacakan beberapa kalimat dari Khotbah di Bukit?
“Silahkan, dengan senang hati aku akan mendengarkannya,” kata guru Zen itu.
Orang Kristen itu membaca beberapa kalimat, lalu berhenti sejenak dan melihat guru Zen. Guru Zen tersenyum dan berkata: “Siapapun yang pernah mengucapkan kalimat-kalimat ini, pastilah sudah mendapatkan penerangan budi.”
Orang Kristen itu senang. Ia meneruskan membaca. Sang guru Zen menyela dan berkata: “Orang yang mengucapkan ajaran ini, sungguh dapat disebut penyelamat dunia. ”Orang itu sangat senang. Ia terus membaca sampai habis. Lalu sang guru Zen berkata: “Khotbah itu disampaikan oleh seorang yang memancarkan cahaya ilahi.”
Sukacita orang Kristen itu meluap-luap tanpa batas. Ia minta diri dan bermaksud kembali untuk meyakinkan guru Zen itu, agar ia sendiri sepantasnya menjadi seorang Kristen juga.
Dalam perjalanan pulang ke rumahnya, ia berjumpa dengan Kristus di pinggir jalan. “Tuhan”, serunya dengan penuh semangat, “Saya berhasil membuat orang itu mengaku bahwa Engkau adalah Tuhan.” Yesus pun tersenyum dan berkata: “Apa gunanya hal itu bagimu, selain membesarkan “ego” Kristenmu?”

Cerita di atas, yang saya ambil dari buku “Burung Berkicau”, sesungguhnya ingin menegur dan menyentil setiap orang (baca: Kristen) yang merasa bahwa jalan untuk menyenangkan Tuhan adalah dengan membawa banyak jiwa, tanpa memperhatikan konteks yang ada. Setiap agama tentu merasa diri lebih baik dari agama atau kepercayaan yang lain. Hal itu juga dialami dan dilakukan oleh agama Kristen. Bahkan, antar gereja Kristen pun saling berlomba untuk mendapatkan banyak jemaat. Berbagai cara dan usaha ditempuh untuk dapat menarik jemaat sebanyak-banyaknya.

Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah itu tugas orang Kristen? Apakah tugas kita hanya untuk mencari jiwa dan mengabarkan injil? Jika Yesus hadir pada saat ini, apakah Ia akan sibuk melakukan khotbah di gereja-gereja? Ada banyak pertanyaan yang seharusnya kita gumuli sebagai orang Kristen dan tulisan ini berusaha menjadi cermin bagi orang Kristen dalam melihat sejauh apa orang Kristen sudah berkarya.

Kekristenan (gereja) dalam konteks Asia, terkhusus dalam konteks Indonesia, berada dalam lingkungan yang diwarnai dengan pluralitas (kebudayaan, agama, suku, dan lain-lain), kemiskinan, dan ketidakadilan (tindak kriminal, penindasan, kurangnya penghargaan terhadap perempuan). Selain itu, gereja juga masih dihadapkan pada permasalahan global warming (kerusakan ekosistem). Sudah tentu kita sebagai orang Kristen yang ingin berkarya dalam konteks Asia, terutama di Indonesia, harus dapat memperhatikan konteks kehidupan yang ada serta permasalahan tersebut.

1. Pluralitas
Apa jadinya jika di dunia ini hanya ada satu warna saja, entah itu putih, hitam, atau apapun juga? Atau pernahkah kita membayangkan jika hanya ada satu tipe wajah manusia? Betapa membosankannya dunia ini! Syukurlah dunia ini dipenuhi dengan warna dan budaya sehingga kita bisa sangat menikmati waktu-waktu berlibur di lingkungan atau tempat yang lain. Mungkin anda setuju dengan pendapat saya. Namun, realita berkata lain! Banyak orang yang tidak menyukai adanya perbedaan, banyak orang yang tidak menghargai keanekaragaman dan banyak orang merasa diri lebih baik.

Indonesia hanya terdiri dari satu bendera, tetapi banyak agama dan suku. Itulah sebagian dari lirik lagu “Satu Bendera” yang dinyanyikan oleh Presiden Band. Harapan dari Presiden Band dalam pembuatan lagu itu adalah agar bangsa Indonesia yang meskipun terdiri dari berbagai macam kelompok tetap menjadi satu dibawah bendera merah putih. Apakah mudah menghargai perbedaan? Tidak. Dibutuhkan usaha untuk itu, namun yang terpenting adalah adanya kemauan. Kemauan untuk dapat menghargai dan mengakui bahwa perbedaan dan keanekaragaman adalah sesuatu yang wajar dan baik adanya.

Gereja pun sudah seharusnya dapat menghargai perbedaan dan keanekaragaman itu. Namun, sejauh apa gereja memberdayakan keanekaragaman dan perbedaan itu haruslah diperhatikan. Perlu kita perhatikan bahwa menghargai tidak harus dan berarti sama dengan kita mengikuti dan menjalankan. Sebagai contoh adalah budaya “sedekah laut”, “sedekah laut” merupakan suatu upacara kejawen yang ada di di pulau jawa. Gereja sudah seharusnya menghormati kebiasaan dan adat istiadat yang berbeda dengan yang diyakini tersebut. Namun, tidak berarti bahwa kita sebagai orang kristen juga harus melakukan “sedekah laut” sebagai wujud penghormatan tersebut. Sudah seharusnya gereja mampu memilah-milah mana tradisi atau budaya yang baik dan mana yang tidak untuk diserap ke dalam agama kristen. Ada berbagai pandangan dan sikap yang dapat diberikan oleh gereja terhadap budaya. H. Richard Niebuhr merupakan salah seorang Teolog yang telah memaparkan sikap-sikap gereja, yang kemudian pendapatnya tersebut dikembangkan oleh Emanuel Gerrit Singgih. Menurut H. Richard Niebuhr, Sikap-sikap gereja terhadap kebudayaan adalah:

a. Sikap Radikal
Sikap ini sama sekali tidak mengakui hubungan antara iman dan budaya. Iman dipahami sebagai sesuatu yang berasal dari atas atau dari Tuhan, sedangkan budaya berasal dari bawah atau manusia. Dengan kata lain bahwa gereja menolak budaya.

b. Sikap Akomodatif
Sikap ini merupakan kebalikan dari sikap radikal. Tidak ada pertentangan sama sekali antara iman dan kebudayaan. Nilai-nilai yang menjadi dambaan masyarakat dianggap sebagai nilai-nilai yang juga dikejar dalam penghayatan iman.

c. Sikap Sintetik
Sikap ini merupakan bagian dari sikap akomodatif. Dalam sikap ini, injil dan kebudayaan merupakan suatu kesatuan yang saling mengisi. Iman melengkapi dan menyempurnakan kebudayaan tetapi kebudayaan juga melengkapi iman.

d. Sikap Dualistik
Merupakan sikap tradisional yang dipakai oleh gereja-gereja Lutheran. Sikap ini merupakan variasi dari sikap akomodatif. Namun, sikap ini berbeda dengan sikap sintetik. Dalam konteks ini, manusia hidup dalam dua dunia, yaitu kerajaan Allah dan masyarakat. Manusia adalah warga masyarakat, sekaligus warga kerajaan Allah, namun keduanya tidak ada sangkut pautnya.

e. Sikap Transformatif
Sikap ini banyak dipakai oleh gereja-gereja Calvinis. Kebudayaan manusia telah tercemar oleh dosa. Oleh karena itu, manusia tidak perlu mengagung-agungkan peradabannya. Kita yakin, Kristus telah menang atas dosa, dan Roh Kudus telah bekerja membaharui kebudayaan dan adat istiadat, serta mentransformasikannya. Iman selalu menjadi warna atau nafas kebudayaan. Tidak ada kebudayaan Kristen, yang ada adalah kebudayaan yang bernafaskan atau dijiwai oleh iman Kristen.

Singgih kemudian merangkum kelima sikap gereja itu menjadi 2 sikap besar, yaitu konfirmasi dan konfrontasi (pembenaran dan pengecaman) yang berarti bahwa gereja tidak begitu saja menolak budaya dan adat istiadat, namun juga tidak serta merta menerima budaya dan adat istiadat.

Dr. Kwok Pui-Lan melihat bahwa sesungguhnya kita dapat mendengar suara Tuhan melalui kebudayaan. Oleh karena itu, ia melihat pentingnya memiliki proses imaginasi atau pandangan yang kreatif. Dr. Kwok Pui-Lan mengutip Sharon Parks, yang telah menyusun 5 tahapan dalam proses imaginasi atau pandangan yang kreatif. Lima tahapan tersebut adalah:
1. Menyadari adanya perbedaan.
2. Berhenti sejenak
3. Menemukan gambaran yang baru. Salah satu cara adalah dengan mencari resonansi yang sama.
4. Mempolakan kembali realita
5. Menafsirkan secara dialogis.

Jika kita dapat melewati tahap-tahap tersebut, kita akan melihat bahwa sesungguhnya Tuhan dapat berkarya dan berbicara dalam setiap budaya. Sejalan dengan itu, C.S. Song menekankan bahwa Allah yang turut menderita, ada dan bertransposisi dalam kebudayaan kita. Melalui buku Allah yang turut menderita, Song mengajak kita untuk melihat Allah yang bereinkarnasi dan bertransposisi. Allah yang bertransposisi telah melampaui Ruang dan waktu. Dengan cerdas, Song telah membebaskan Allah untuk berkarya dan juga membebaskan diri-Nya dari kungkungan egoisitas agama. Hal inilah yang kurang bisa dilakukan oleh gereja. Seringkali, gereja memberi gagang pada salib sehingga teologi dapat diputar dan digerakkan sesuka hati.

2. Kemiskinan
Ada sebuah pertanyaan menarik yang pernah saya dengar, “Apa persamaan antara banjir dan korupsi?” Jawabannya adalah sama-sama rakyat kecil (miskin) yang paling menderita. Saya mengamini jawaban itu. Memang sudah menjadi rahasia umum bahwa kemiskinan adalah masalah pelik yang sulit untuk diselesaikan di negara ini. Kemiskinan telah menyengsarakan sebagian besar masyarakat di Indonesia. Karena kemiskinan banyak anak putus sekolah, karena kemiskinan banyak orang mati kelaparan, karena kemiskinan pula banyak orang tidak mempunyai rumah dan masih banyak penderitaan lainnya yang disebabkan oleh kemiskinan, sebut saja gizi buruk, busung lapar, hingga meningkatnya angka kriminalitas.

Namun, apa sebenarnya kemiskinan itu?

Kemiskinan dapat dipahami dengan berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
• Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
• Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
• Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai.

Bagaimana seharusnya kita sebagai orang Kristen melihat keadaan ini? Kemiskinan dari kaca mata kristen, harus kita lihat sebagai berikut:

1. Kemiskinan bukanlah kondisi yang ideal.
Ingatlah bahwa Yesus pun senantiasa berempati terhadap orang miskin. Hal ini ditunjukkan tatkala Ia sendiri menyuruh kita untuk dapat mengasihi orang-orang yang hina. Hal tersebut dituliskan dalam Matius 25:40 yang berbunyi, ”Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Yesus ingin menekankan bahwa ketika kita melakukan atau memberikan kasih kita kepada orang-orang yang miskin atau yang terpinggirkan itu sama artinya kita telah melakukannya untuk Dia.

2. Dalam Injil atau Alkitab kita tidak ada pertentangan kelas. Alkitab atau Injil bukanlah sentimen atau anti terhadap orang kaya. Adanya kritikan bagi orang kaya pada masa itu karena orang kaya pada waktu itu tidak berbuat sesuai dengan ajaran Yesus.

Lalu, apa yang harus dilakukan oleh orang kristen? Siapa yang harus kita tolong?

Idealnya, kita memberikan bantuan kepada semua orang tanpa pandang bulu. Namun, dalam realita yang ada, masih banyak gereja yang pilih-pilih ketika memberikan bantuan. Menarik jika kita memperhatikan kehidupan Yesus yang banyak diwarnai dengan pelayanan-Nya itu dilakukan kepada setiap orang tanpa pandang bulu. Ia mau menyembuhkan orang lumpuh ataupun orang buta tanpa melihat mereka itu dari agama apa atau bangsa apa.

3. Ketidakadilan (tindak kriminal, penindasan, kurangnya penghargaan terhadap perempuan, dan lain-lain)
Salah satu doa saya yang belum terkabul sampai saat ini adalah ketika saya memohon kepada Tuhan agar dalam sehari saja tidak ada lagi berita mengenai kriminalitas, korupsi, pelecehan terhadap wanita, dan tindakan yang tidak adil lainnya. Kapan dunia ini akan terbebas dari ketidakadilan? Entahlah, tidak ada seorangpun di antara kita yang tahu kapan waktunya. Padahal, jika setiap orang ditanya “Apakah anda membutuhkan keadilan?” saya yakin semua akan menjawab “Iya!”. Tapi, realitanya kita semua sering melakukan ketidakadilan terhadap orang lain. Gereja pun tidak terlepas dari permasalahan ini, sebagai contoh adalah kurangnya penghargaan terhadap perempuan. Memang, sekarang gereja kristen sudah mulai terbuka dengan pendeta perempuan. Namun, apakah gereja sudah memberikan hak yang sama bagi perempuan untuk melayani? Saya kira belum. Jumlah majelis perempuan yang ada di gereja saja masih kalah jauh dari jumlah majelis pria.

Kita haruslah menyadari bahwa ketidakadilan itu disebabkan karena dalam diri manusia sesungguhnya terdapat dosa dan kejahatan. Penyakit yang bernama kejahatan itu sudah berakar dalam hati kita. Alkitab bertubi-tubi berbicara tentang hal itu dan tidak ada penyembuhan yang mudah. Hanya oleh darah Kristus, yang melimpah dari hati yang tak berdosa, yang berkuasa untuk mengalahkannya. Namun, sampai saat ini, kematian Kristus belumlah memerdekakan kita. Kejahatan masih mempunyai kekuasaan untuk membuai dunia ini. Rm. Dr. Surip Stanislaus. Ofm. Cup., seorang romo sekaligus pengarang buku “Harmoni Kehidupan dan Tragedi Kemanusiaan”, pernah berkata bahwa jalan-jalan dosa sangatlah menggiurkan ketimbang jalan-jalan kebenaran yang membutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Sebagai orang Kristen (Pengikut Kristus), sudah sepantasnyalah kita berjuang kembali untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita peroleh. Supaya dengan demikian, kita dapat menjadi semakin seperti Yesus. Kalau kita mau menjadi semakin seperti Yesus, kita pun harus belajar untuk mengasihi. Sebab, Allah itu kasih.

Bagaimana dengan ketidakadilan yang terjadi di luar gereja? Apakah gereja berani menegakkan keadilan? Untuk hal ini harus kita akui seringkali gereja menutup mata dan telinganya. Gereja seolah tidak melihat dan tidak mendengar tangisan serta jeritan dari mereka yang tertindas. Seringkali gereja tidak berbuat apa-apa. Padahal, tidak ada seorang pun disebut baik hanya berdasarkan apa yang tidak dilakukannya. Panggilan Kristus untuk penyerahan diri adalah panggilan untuk menjalani hidup yang penuh kebaikan. Kita harus mempergunakan sebaik mungkin segala kemungkinan, kesempatan, dan kepercayaan yang diberikan kepada kita.

Sekadar tidak berbuat jahat belumlah cukup. Yesus memanggil kita untuk berbuat baik dalam pengertian yang aktif. Ia memanggil kita untuk bertindak. Kebenaran ini merupakan prinsip yang penting, yang dapat ditemui dalam banyak pengajaran Yesus. Sebagai contoh, Yesus menceritakan suatu kisah tentang seorang kaya yang merencanakan untuk melakukan perjalanan jauh keluar negeri. Karena itu, ia memanggil hamba-hambanya dan mempercayakan miliknya kepada mereka. Kepada yang seorang ia memberikan lima talenta, kepada yang lain ia memberikan dua talenta, dan kepada yang lain lagi ia memberikan satu talenta. Satu talenta adalah sejumlah uang yang besar, yang sebanding dengan upah kerja selama setahun. Ia menyuruh hamba-hambanya itu untuk menjalankan kekayaannya untuk memperoleh laba selama ia pergi.

Kemudian orang kaya itu pergi. Hamba yang memperoleh lima talenta segera menjalankan uangnya. Ia berhasil dengan baik dan melipatgandakan uang tersebut. Hamba yang menerima dua talenta kedua juga melakukan hal yang sama. Tetapi hamba yang ketiga, yang hanya menerima satu talenta takut kehilangan segalanya jika ia menjalankan uangnya. Ia berpikir, “Jika aku menjalankan uang ini, aku mungkin akan kehilangan semuanya. Ini akan membangkitkan kemarahan tuanku, jadi aku akan menyembunyikan uang ini ditempat yang aman dan menyimpannya sampai ia kembali.” Jadi, hamba yang ketiga ini menguburkan uang tersebut ditempat rahasia supaya aman sampai tuannya kembali.

Ketika tuannya itu kembali, ia segera memanggil hamba-hambanya dan bertanya mengenai usaha mereka selama ia pergi. Hamba yang telah menerima lima talenta memberitahukan kepada tuannya apa yang telah dikerjakannya.

Tuannya memuji hamba itu dan memberikan kenaikan pangkat dan berkata, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu” (Mat 25:21). Ia melakukan hal yang sama terhadap hamba yang kedua.

Tuan itu kemudian memanggil hamba yang telah menerima satu talenta dan bertanya mengenai usahanya. Hamba itu memberitahukan kepada tuannya bahwa ia takut kehilangan segalanya sehingga ia menguburkan talenta itu untuk mengamankannya.

Lalu tuan itu berkata, “Hai kamu hamba yang jahat dan malas, jadi kamu sudah tahu, bahwa aku menuai ditempat dimana aku tidak menabur dan memungut ditempat dimana aku tidak dapat menanam? Karena itu, sudahlah seharusnya uangku kau berikan kepada orang yang menjalankan uang, sehingga sekembaliku aku menerimanya serta dengan bunganya” (Mat 25:26-27).

Kemudian ia menyuruh hamba-hambanya yang lain untuk mengambil talenta itu dari hamba itu dan memberikannya kepada hamba yang mempunyai sepuluh talenta. Lalu ia berkata, “Campakanlah hamba yang tidak berguna itu kedalam kegelapaaan yang paling gelap. Disanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi” (Mat 25:30). Ada tiga kata yang dipakai oleh Yesus untuk menggambarkan hamba yang ketiga:
o Ia menyebutnya jahat
o Ia menyebutnya malas
o Ia menyebutnya tidak berguna

Ini adalah kata-kata yang keras. Begitu keras sehingga kita merasa bahwa tuan ini terlalu keras kepada hamba yang ketiga ini. Padahal, apa dosanya yang besar? Ia tidak menggelapkan uang tuannya. Ia tidak menghabiskan satu sen pun untuk berfoya-foya. Ia tidak akan pernah melakukan hal seperti itu sebab ia bukan orang semacam itu. Ketika ia diminta untuk memberikan laporan atas apa yang telah dilakukannya, ia memberitahukan hal yang sebenarnya. Jadi, apa dosa orang ini? Dosanya bukanlah terletak pada apa yang dilakukannya, melainkan pada apa yang tidak dilakukannya. Ia tidak jahat. Ia hanya tidak berguna.

Yesus menceritakan perumpamaan ini untuk menyoroti hamba yang ketiga itu. Maksud Yesus ialah bahwa kita tidak boleh hidup tanpa kerja, malas, dan acuh tak acuh atas tugas yang telah diberikanNya kepada kita. Perumpamaan ini menantang kita untuk sibuk dan bekerja sampai Yesus datang kembali. Sebab, jika kita tidak melakukan kebaikan walaupun kita tidak jahat, Tuhan akan menganggap kita jahat, malas dan tidak berguna.

Lalu, mengapa seringkali gereja menutup mata dan menutup telinga ketika banyak ketidakadilan terjadi? Entahlah, mungkin gereja beranggapan bahwa permasalahan tersebut adalah permasalahan duniawi sehingga gereja yang merasa diri mengurusi masalah sorgawi tidak perlu ikut campur dalam masalah duniawi tersebut. Atau, bisa jadi gereja takut keberadaanya di dunia ini menjadi terancam? Jika alasannya demikian, berarti gereja lupa dengan pelayanan Yesus di dunia ini. Bukankah Yesus rela berkorban untuk mendatangkan shalom di dunia ini? Jika gereja takut menghadirkan shalom, perlu kita pertanyakan kembali apa fungsi dan peran gereja di dunia ini dan masihkah gereja berguna di tengah dunia ini?

4. Global Warming (Permasalahan Ekosistem)
Sadarkah kita bahwa semakin lama bumi kita ini menjadi tempat yang tidak ramah lagi untuk kita tinggali? Semakin sering kita mendengar berita mengenai adanya bencana alam yang terjadi. Musim pun semakin tidak jelas lagi. Bulan yang seharusnya musim kemarau, malah turun hujan. Sebaliknya, ketika musim penghujan seharusnya tiba ternyata hujan tak kunjung turun. Penyebab dari permasalahan-permasalahan tersebut sesungguhnya adalah global warming. Sejauh apakah gereja sudah bertindak dalam mengurangi dampak pemanasan global ini? Tampaknya kita harus melihat kepada setiap diri kita masing-masing. Entah disadari atau tidak, kita pun mempunyai andil dalam perusakan alam ini. Seandainya saja setiap orang memiliki kesadaran untuk mengurangi dampak pemanasan global ini, tentulah akan membawa pengaruh yang besar bagi kelangsungan kehidupan bumi ini.

Mencegah dampak pemanasan global agar tidak semakin parah, sesungguhnya tidak sesulit yang kita bayangkan selama ini. Mungkin kita berpikir dampak pemanasan global hanya akan berkurang jika kita menanam sejuta pohon, atau ikut menandatangani Protokol Kyoto, atau melakukan hal-hal sulit lainnya, padahal dampak pemanasan global bisa dicegah melalui hal-hal yang mudah dan sederhana, yang bisa kita mulai dari keluarga kita, bahkan dari diri kita sendiri.

Cara-cara tersebut adalah:
1. Matikan listrik. Jika tidak digunakan, jangan tinggalkan alat elektronik dalam keadaan standby. Meski listrik tak mengeluarkan emisi karbon, pembangkit listrik PLN menggunakan bahan bakar fosil penyumbang besar emisi.
2. Ganti bohlam lampu ke jenis CFL, sesuai daya listrik. Meski harganya agak mahal, lampu ini lebih hemat listrik dan awet.
3. Bersihkan lampu karena debu bisa mengurangi tingkat penerangan hingga 5%.
4. Jika terpaksa memakai air conditioner, tutup pintu dan jendela selama air conditioner menyala. Atur suhu sejuk secukupnya, sekitar 21-24°C.
5. Gunakan timer untuk air conditioner, microwave, oven, magic jar, dll.
6. Alihkan panas limbah mesin air conditioner untuk mengoperasikan water-heater.
7. Menanam tanaman atau pohon di pekarangan rumah. Satu buah pohon bisa menyerap 1 ton karbon dioksida sepanjang hidupnya.
8. Jemur pakaian di luar. Angin dan panas matahari lebih baik ketimbang memakai mesin (dryer) yang banyak mengeluarkan emisi karbon.
9. Gunakan kendaraan umum untuk mengurangi polusi udara.
10. Hematlah penggunaan air.
11. Hematlah penggunaan kertas karena bahan bakunya berasal dari kayu.
12. Kurangi sampah plastik, contohnya kalau membeli sedikit barang, cukup kita pegang saja tanpa perlu dimasukkan ke plastik, karena sampah plastik sangat sulit terurai di alam dan jika dibakar bisa menghasilkan gas berbahaya.
13. Membuang sampah pada tempatnya dan mendaur ulang sampah-sampah yang bisa didaur ulang.
14. Mengurangi frekuensi pemakaian kendaraan bermotor yang sifatnya perorangan.


Refleksi
Dari permasalahan-permasalahan dan konteks yang ada, marilah kita bertanya pada diri kita masing-masing, cukupkah kita (gereja) hanya melakukan penginjilan melalui khotbah? Apakah teologi yang kita miliki hanya sebatas wacana? Jika teologi yang kita miliki hanya sebatas wacana, marilah kita mengubah nama sekolah teologi yang menggunakan kata wacana menjadi kata praksis sehingga kita boleh disadarkan bahwa teologi bukanlah suatu wacana melainkan sebuah praksis (aksi-refleksi dan refleksi-aksi).

Sebagai sebuah cermin, mungkin tulisan ini tidak dapat menampilkan keseluruhan permasalahan dan jawaban. Tetapi, biarlah melalui cerminan yang ada itu, kita terbantu dalam usaha melihat diri kita dan mencari kehendak Allah dalam hidup kita. Melalui cermin itu pula, kita diajak untuk melihat sejauh apa gereja sudah berkarya dan kemudian membenahi diri sehingga gereja pun pada akhirnya dapat menjadi wakil Allah di dunia ini. Selamat bercermin dan berkarya! Tuhan Yesus memberkati!

Tidak ada komentar: