Pendahuluan
Konflik merupakan gejala yang tidak terpisahkan dari hidup manusia. Konflik bukanlah hal yang baru timbul karena peradaban modern. Sejak zaman dahulu konflik telah hadir dalam kenyataan hidup sehari-hari. Mitologi Yunani, Romawi, Persia, India, Mesir, atau Jawa sekalipun menggambarkan berbagai konflik baik yang terjadi ditengah-tengah dewa-dewa, malaikat, makhluk-makhluk bukan manusia, maupun di antara mereka dengan manusia, bahkan di antara manusia dengan manusia. Contohnya cerita Mahabarata, dewa-dewa Olympus, epic Gilgamesh, atau Ahura Mazda. Semua itu menjadi bukti bahwa sesungguhnya konflik tidaklah terlepas dari kehidupan manusia.
Robby I. Candra dalam bukunya yang berjudul Konflik Dalam Hidup Sehari-hari, mengutip pendapat dari Joyce Hocker dan William Wilmot yang mendefinisikan pandangan tentang konflik yang umumnya tersebar secara merata dalam berbagai budaya diseluruh dunia.
1. “Konflik adalah hal yang abnormal karena hal yang normal adalah keselarasan.” Mereka yang menganut pandangan ini, pada dasarnya bermaksud untuk menyampaikan bahwa, suatu konflik hanyalah merupakan gangguan stabilitas. Karena konflik dilihat sebagai suatu gangguan, maka harus diselesaikan secepat-cepatnya, apapun penyebabnya (walaupun mungkin saja terjadi bahwa penyebabnya yang terdalam tidak diketemukan). Dengan kata lain, keprihatinan utama ialah terselesaikannya keadaan tidak normal yang muncul tadi walaupun akar masalahnya tidak terbongkar.
2. “Konflik sebenarnya hanyalah suatu perbedaan atau salah paham.” Kata-kata seperti itu, sering diucapkan oleh orang-orang yang terlibat dalam sebuah konflik. Dengan kata lain, konflik tidak dinilai sebagai hal yang terlalu serius. Bahkan, menurut penganut pendapat ini penyebab konflik hanyalah kegagalan berkomunikasi dengan baik, sehingga pihak lain tidak dapat memahami maksud kita yang sesungguhnya.
3. “Konflik adalah gangguan yang hanya terjadi karena kelakuan orang-orang yang tidak beres.” Pendapat ini sering pula diungkapkan dengan cara lain. Orang-orang yang senang berkonflik adalah orang yang anti-sosial, paranoia, ngawur, dan senang berkelahi.
Dalam budaya Jawa, konflik merupakan hal yang abnormal dan harus dihindari, sehingga bisa disebut bahwa budaya Jawa termasuk dalam golongan pertama menurut definisi dari Joyce Hocker dan William Wilmot yang telah dituliskan di atas.
Tulisan ini akan membandingkan bagaimana pandangan dari budaya Jawa dengan Alkitab (Iman Kristen) mengenai konflik. Di akhir tulisan, penulis juga akan memberikan refleksi mengenai sejauh mana kita harus melihat konflik dalam kehidupan sehari-hari.
Pandangan Dasar Hidup Orang Jawa (Religiusitasnya)
Untuk memahami bagaimana orang Jawa memandang suatu konflik, terlebih dahulu kita harus dapat memahami pandangan dasar hidupnya (religiusitasnya). Sejak semula, orang Jawa sudah memiliki kepercayaan. Pusat yang paling dalam dari religiusitas ini ialah adanya kepercayaan dan penyembahan terhadap roh-roh yang ada di sekitar kehidupannya, dan yang lazim disebut dengan animisme di satu pihak, dan kepercayaan serta penyembahan terhadap adanya daya-daya di sekitarnya, atau yang lazim disebut dengan dinamisme di pihak lain. Dalam praktek kehidupan sehari-hari, dua kepercayaan dengan segala praktek penyembahannya ini hampir tidak dapat dipisahkan satu terhadap yang lain. Perpaduan antara dua kepercayaan itu sering disebut dengan sebutan animodinamisme. Berdampingan dengan kepercayaan yang demikian itu, terdapat pula pandangan dasar kehidupan yang mengakui akan adanya satu realitas tunggal dalam kehidupan orang Jawa, yang sekaligus merupakan pusat atau titik temu segala realitas yang lain. Dalam terang pandangan ini, maka realitas yang lain sebenarnya dipahami hanya sebagai bagian-bagian (pancaran) dari satu realitas tunggal tersebut. Realitas tunggal itu tidak ada lain kecuali alam semesta ini (kosmos) dengan segala tata tertibnya sendiri. Kepercayaan ini selanjutnya disebut dengan sebutan kosmomonisme. Dengan kata lain, Kosmomonisme ialah paham dalam masyarakat jawa dimana hanya ada satu realitas tunggal yaitu alam semesta ini.
Dengan kepercayaan yang demikian itu maka kosmomonisme tidak mengenal kepercayaan kepada Allah. Dengan demikian, maka paham kosmomonisme bersifat non-theistis. Dalam hubungan ini harus disadari bahwa alam semesta itu sendiri bukanlah Allah dan tidak dapat disamakan dengan Allah. Walaupun demikian alam semesta itu sendiri memiliki tata tertib yang berwatak ilahi, dan manusia tidak mempunyai pilihan lain kecuali menerimanya. Karena itulah maka dalam arti yang paling dasar paham kosmomonisme tidak memiliki konsep tentang Allah.
Sebagai suatu realitas tunggal, maka alam semesta merupakan suatu totalitas yang terdiri dari segala yang ada. Walaupun dalam batas tertentu segala yang ada di dalam alam ini memang memiliki kemandiriannya sendiri, namun realitas-realitas itu tetap tergantung kepada alam semesta sebagai satu-satunya realita yang total. Ide dasar pemikiran yang demikian itulah yang menjadikan paham kosmomonisme ini memiliki jiwa yang bersifat inklusif, yaitu jiwa yang cenderung untuk menerima keberbagai-macaman di dalam satu wadah. Sikap inklusif inilah yang menjadi dasar pandangan orang Jawa untuk mau mengakui dan menerima perbedaan-perbedaan yang ada, namun bagaimanapun perbedaan-perbedaan itu tetap terikat di dalam satu kesatuan realitas alam. Dengan kata lain, perbedaan-perbedaan yang ada itu tetap harus dihayati di dalam jiwa kebersamaan yang hakiki. Jadi betapapun ada perbedaan-perbedaan, namun mereka memiliki titik temu di dalam ketergantungan kepada satu realita yang sama yaitu alam semesta.
Manifestasinya
Sebagai realita tunggal, alam semesta memiliki tata tertibnya, yang pada intinya adalah keselarasan atau harmoni. Keselarasan ini dimanifestasikan pertama-tama pada perputaran musim yang bergerak secara dinamis. Karena itulah maka pergantian musim menjadi simbol keselarasan baik bagi alam itu sendiri maupun juga bagi manusia. Keselarasan atau harmoni ini pula yang juga tetap menjiwai prinsip kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya. Manifestasi dari prinsip harmoni ini masih dapat terlihat di dalam manifestasi kehidupan:
1. Tata tertib alam yang nampak dalam perputaran musim telah dipakai sebagai dasar bagi orang Jawa dalam mebuat perhitungan waktu. Karena itu maka sebenarnya masyarakat Jawa tidak memiliki bulan. Waktu diperhitungkan berdasarkan pada perhitungan “mangsa”, atau musim, yakni musim pertama, kedua, ketiga dan seterusnya.
2. Karena pada hakekatnya alam semesta itu tertata secara harmonis atau selaras, maka prinsip hidup di dalam kebersamaan tidak ada lain kecuali harmoni, keselarasan, keserasian. Prinsip harmoni ini pula yang akan dipakai sebagai dasar untuk menyelesaikan segala persoalan kehidupan bersama yang mengarah pada terjadinya konflik terbuka.
3. Karena tata tertib alam itu termanifestasi di dalam perputaran musim yang dinamis, maka ada kecenderungan untuk menerima pergantian kedudukan di dalam kehidupan bersama itu sebagai yang wajar. Secara khusus prinsip ini nampak dan terungkap di dalam semboyan hidup: samu barang iku gilir gumanti (segala sesuatu itu bergilir berganti sesuai dengan prinsip harmoni).
Sikap hidup yang berpusat pada alam sebagai realitas tunggal ini telah memberikan sisi pandang yang bersifat holistik kepada masyarakat Jawa. Artinya segala sesuatu yang terjadi dalam alam semesta ini dapat dimengerti hanya apabila ditempatkan dalam keseluruhan tata tertib alam. Dalam praktek kehidupan sehari-hari, manusia memang dibedakan dari segala kehidupan yang ada di dalam alam semesta ini. Ini nampak dalam hal bahwa segala yang ada di dalam alam semesta ini, kecuali manusia, secara pasif mengikuti saja tata tertib alam. Tetapi tidak demikian dengan manusia. Sebab dalam rangka menjalani hidup untuk menyesuaikan diri dengan tata tertib alam, ada kemungkinan manusia itu mengambil keputusan-keputusan hidup yang bertentangan dengan tata tertib alam. Karena kemampuan dan kebebasan yang demikian itulah maka manusia, setiap pribadi, dipandang juga sebagai alam tersendiri (jagad tersendiri). Karena itulah maka manusia juga sering disebut dengan jagad cilik, mikrokosmos. Sebagai jagad cilik, manusia mempunyai kekuasaan dan kebebasan untuk menata dirinya sendiri (sekalipun terbatas tentu). Justru di sinilah letak pertanggungjawaban hidup, yaitu bagaimana jagad cilik ini tetap mampu menata dirinya di dalam keseluruhan tata tertib alam semesta yang kepadanya jagad cilik itu tunduk. Dialektika antara jagad cilik (mikrokosmos) dan jagad gedhe (makrokosmos) inilah yang juga kelak menjadi pusat etika Jawa. Dialektika ini akan senantiasa menjadi masalah selamanya bagi manusia. Tentu dalam upaya menyelesaikan dialektika kehidupan itu masyarakat Jawa tetap mengacu kepada prinsip harmoni.
Menurut Hildred Geertz, ada dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Kaidah-kaidah yang dimaksud, pertama adalah kaidah yang mengatakan bahwa dalam situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri hendaknya selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukan mereka.
Magnis Suseno dalam bukunya Etika Jawa menamakan kedua kaidah tersebut dengan sebutan prinsip kerukunan untuk kaidah pertama dan sebutan prinsip hormat untuk kaidah yang kedua. Lebih jauh lagi ia menguraikan bahwa prinsip kerukunan itu bertujuan untuk mempertahankan masyarakat agar dalam keadaan harmonis yang disebut sebagai keadaan rukun. Rukun yang dimaksud di sini adalah suatu keadaan di mana suasana ada dalam keadaan selaras, tenang, dan tentram tanpa ada perselisihan dan pertentangan, bersatu dengan tujuan untuk saling membantu. Ada dua segi dalam tuntutan kerukunan itu. Segi pertama, tentang pandangan Jawa yang dalam penekanan arti selaras itu masalahnya bukan penciptaan keadaan sosial, melainkan lebih untuk tidak mengganggu keselarasan yang diandaikan sudah ada. Segi kedua, prinsip kerukunan semata-mata bukan menyangkut suatu sikap batin atau keadaan jiwa, melainkan sebagai penjagaan keselarasan dalam pergaulan. Yang dijaga adalah pengaturan permukaan hubungan-hubungan sosial yang kentara, dan yang perlu dijaga dan dicegah adalah konflik-konflik terbuka. Jadi prinsip kerukunan ini bersifat negatif. Sebab prinsip ini menuntut orang agar mencegah segala cara kelakuan yang bisa mengganggu keselarasan dan ketenangan dalam masyarakat. Dengan kata lain, diharapkan bahwa prinsip kerukunan ini mendapatkan penerapannya dalam segala bidang kehidupan.
Apabila orang Jawa telah dewasa, maka ia telah membatinkan bahwa kesejahteraannya, bahkan eksistensinya tergantung pada kesatuan dengan kelompoknya. Dengan demikian, secara psikologis keadaan rukun itu diterjemahkan baginya ke dalam keadaan di mana tidak ada perasaan-perasaan negatif, yaitu suatu keadaan yang aman dan tentram.
Kaidah kedua yang disebut oleh Magnis Suseno sebagai prinsip hormat, memainkan peranan penting dalam hal pola interaksi dalam masyarakat Jawa. Prinsip ini mengatakan bahwa setiap orang dalam bersikap dan membawa diri serta dalam caranya berbicara, hendaknya selalu harus memperlihatkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Prinsip hormat ini dilandasi pendapat bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hierarkis (hal ini sesuai dengan pola keselarasan yang ada dalam kosmomonisme).
Dari semua penjelasan yang ada, kita dapat melihat bahwa sesungguhnya konflik adalah hal yang abnormal dalam budaya Jawa. Hal ini disebabkan karena dalam pandangan hidup orang jawa diutamakan adanya keselarasan dalam suatu kesatuan kosmos. Lalu bagaimana agama agama Kristen melihat suatu konflik?
Konflik menurut pandangan agama Kristen
Paulus dalam beberapa suratnya kepada jemaat-jemaat Kristen, memperingatkan jemaat untuk tidak terpecah-pecah. Sebagai contoh adalah surat Efesus. Dalam surat Efesus, penulis nampaknya ingin menguatkan jemaat untuk dapat mencapai kesatuan dalam iman, mencapai kedewasaan penuh, mencapai tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga mereka tidak lagi diombang-ambingkan oleh rupa-rupa pengajaran, oleh permainan palsu manusia (Efesus 4: 13-14).
Pada bagian awal surat yang mencakup pasal 2-3, dipaparkan bahwa sesungguhnya para pembaca telah mati dalam dosa, mereka hidup dibawah kuasa-kuasa dunia ini dan pada hakikatnya, merupakan anak-anak durhaka, tetapi kini Allah telah membangkitkan mereka. Ini merupakan anugrah; tidak berdasarkan perbuatan, sehingga tak seorangpun boleh bangga. Orang-orang Kristen bukan Yahudi, yang dahulu adalah orang asing, kini menjadi dekat melalui darah Kristus yang telah meruntuhkan dinding pemisah (Hukum Taurat).
Pada bagian kedua (4:1-6:20), surat ini menekankan adanya kesatuan (satu tubuh, satu Roh, satu pengharapan, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, dan lain-lain). Orang Kristen yang telah ditebus itu dipersatukan dalam satu Tubuh dengan Kristus sebagai kepalanya. Hal ini berarti juga ada konsekuensi yang harus ditanggung oleh orang Kristen, yakni meninggalkan manusia lama dan hidup sebagai manusia baru yakni penurut-penurut Kristus. Penurut-penurut Kristus berarti juga melakukan kebaikan sesuai dengan kehendak Tuhan dan meninggalkan kehidupan yang penuh dosa. Dari surat Paulus tersebut, kita dapat melihat dua hal:
1. Bahwa sesungguhnya jemaat-jemaat Kristen pun tidak terlepas dari konflik ataupun permasalahan.
2. Bahwa ada kesamaan yang terdapat dalam ajaran Kristen maupun budaya Jawa dimana konflik dilihat sebagai sesuatu yang abnormal dan harus dihindari.
Bagaimana seharusnya kita melihat konflik? Apakah konflik harus dihindari? Konflik sesungguhnya merupakan suatu keadaan yang abnormal sekaligus normal. Konflik menjadi abnormal manakala kita melihat bahwa keadaan yang ideal adalah keselarasan. Namun disatu sisi kita juga harus menyadari bahwa konflik adalah keadaan yang tidak dapat kita hindari dalam kehidupan ini. Seringkali, konflik dilihat sebagai sesuatu yang negatif, yang karenanya konflik terbuka haruslah dihindari. Namun sesungguhnya konflik tidaklah selalu berakhir dengan negatif. Bisa jadi, konflik justru menjadi titik tolak untuk adanya sebuah kemajuan. Atau dengan kata lain, konflik sesungguhnya dapat berakhir atau menghasilkan hal-hal yang baik jika diselesaikan atau ditangani dengan baik. Justru jika tidak ditangani dengan baik atau jika suatu konflik senantiasa dihindari, bisa jadi akan berakibat fatal yakni menimbulkan konflik yang lebih besar lagi. Sebagai contoh, seorang suami selalu memendam perasaan kesalnya kepada istrinya karena si istri jarang membuatkan masakan untuknya. Hal tersebut dilakukan suami karena sang suami tidak mau berkonflik dengan istrinya. Sedangkan istrinya, ia merasa bahwa tidak ada masalah dengan dirinya sebab sang suami tidak pernah menegurnya. Suatu kali kesabaran sang suami telah habis. Karena telah lama memendam amarahnya, sang suami pun pada akhirnya memutuskan untuk bercerai dengan istrinya.
Contoh demikian banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Seandainya suami tadi mau mengkomunikasikan perasaannya kepada istrinya, mungkin saja sang istri dapat berubah dan mereka tidak perlu bercerai. Namun tentu saja kita tidak dapat mengambil kesimpulan bahwa menghindari konflik terbuka pasti akan menghasilkan buah yang negatif. Masih ada orang yang bisa menjaga keselarasan dan keharmonisan dan mereka merasa nyaman dengan keadaan tersebut. Tetapi, alangkah lebih baik jika suatu konflik itu dapat dihadapi dengan ketenangan hati (tidak panik) serta ditangani dengan baik. Sebab, dengan penanganan yang baik suatu konflik dapat mendatangkan kebaikan bagi semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar